Kritiknya, ruang-ruang inklusi masih terbatas pada proyek tertentu. Perlu keberlanjutan agar tidak sekadar menjadi pencitraan. Refleksinya, setiap sektor bisa meniru praktik baik ini sebagai langkah kecil menuju perubahan besar.
2. Bahasa Isyarat sebagai Jembatan Hati
Bahasa isyarat menjadi medium utama komunikasi antara barista tunarungu dan pelanggan. Walau tanpa suara, percakapan tetap hangat dan bermakna. Pelanggan justru menganggap pengalaman ini unik dan mendidik.
Bahasa isyarat tidak sekadar alat komunikasi, melainkan jembatan hati. Ia menghubungkan dua dunia yang tampak berbeda, namun sesungguhnya sejajar. Kepekaan dan kesabaran menjadi nilai yang lahir dari interaksi ini.
Namun, kritik penting muncul ketika masih banyak orang yang belum memahami bahasa isyarat. Minimnya literasi ini bisa menjadi penghalang. Refleksinya, perlu ada kampanye berkelanjutan agar masyarakat luas lebih akrab dengan bahasa isyarat.
3. Mimpi Besar di Balik Kesunyian
Sosok Fajar Malik, barista berusia 27 tahun, memberi teladan tentang semangat meraih mimpi. Meski hidup dalam kesunyian, ia bertekad suatu hari memiliki kafe sendiri. Kesunyian baginya bukan penghalang, melainkan ruang ketenangan untuk berpikir.
Kisah Fajar menegaskan bahwa tunarungu punya mimpi sama besar dengan siapa pun. Mereka ingin diakui, dihargai, dan diberi kesempatan. Kesempatan inilah yang kerap terhalang oleh stigma sosial.
Refleksinya, dukungan masyarakat dan negara harus nyata dalam membuka jalan. Jangan biarkan mimpi besar itu terhenti hanya karena keterbatasan fasilitas dan pemahaman publik.
4. Peran Negara dan Regulasi Inklusi