Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kawal Transisi PPPK Paruh Waktu Menuju Status Penuh!

25 September 2025   12:23 Diperbarui: 25 September 2025   12:23 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi PPPK. /ANTARA FOTO/Khalis Surry/Spt.

Kawal Transisi PPPK Paruh Waktu Menuju Status Penuh!

"Kebijakan bijak bukan hanya tentang cepatnya keputusan, melainkan juga ketepatan waktu dan keberlanjutan dampaknya."

Oleh Karnita

Pendahuluan

Apakah kebijakan pengangkatan tenaga honorer menjadi PPPK paruh waktu sudah cukup menjawab keresahan publik? Pertanyaan ini muncul setelah Pikiran Rakyat pada 24 September 2025 memberitakan langkah Pemprov Jawa Barat yang menetapkan 26.968 tenaga honorer menjadi PPPK paruh waktu. Dalam laporan tersebut, Sekda Jabar Herman Suryatman menegaskan pengangkatan penuh baru akan dimulai secara bertahap tahun 2026.

Kebijakan ini tentu membawa harapan, sekaligus menyisakan kegelisahan di tengah publik. Di satu sisi, tenaga honorer akhirnya mendapat kepastian status hukum dan pengakuan atas pengabdiannya. Namun di sisi lain, keterbatasan fiskal membuat proses pengangkatan penuh tidak bisa dilakukan sekaligus.

Penulis tertarik membahas isu ini karena menyentuh jantung persoalan tata kelola aparatur sipil negara. Urgensinya jelas, sebab menyangkut hak hidup puluhan ribu tenaga honorer dan masa depan pelayanan publik di Jawa Barat. Relevansinya pun tinggi, mengingat pemerintah daerah lain juga menghadapi dilema serupa dalam mengatur belanja pegawai.

1. Angka Besar, Harapan Besar

Jumlah 26.968 PPPK paruh waktu bukan angka kecil. Mereka adalah tenaga honorer yang selama ini menopang jalannya berbagai layanan publik di OPD. Dengan status baru ini, mereka tentu berharap tidak lagi berada dalam ketidakpastian administratif.

Namun, angka besar ini sekaligus menjadi tantangan fiskal yang nyata. Jika semua diangkat penuh secara bersamaan, belanja pegawai diperkirakan bisa menembus 40 persen dari APBD. Artinya, akan ada pengorbanan besar pada pos anggaran pembangunan infrastruktur dan pelayanan masyarakat lain.

Di sinilah muncul pertanyaan kritis: apakah kebijakan pengangkatan ini sudah direncanakan dengan peta jalan yang matang? Harapan publik harus seimbang dengan realitas kemampuan fiskal daerah. Jika tidak, kebijakan ini bisa menjadi bumerang yang merugikan lebih luas.

2. Pertimbangan Fiskal yang Tidak Bisa Diabaikan

Sekda Jabar menegaskan pentingnya menjaga belanja pegawai di bawah 30 persen APBD. Pertimbangan ini sejalan dengan prinsip efisiensi fiskal yang harus dijaga agar pembangunan tetap berjalan. Keputusan untuk mengangkat hanya 4.000 PPPK penuh di tahap awal menjadi kompromi strategis.

Namun, ada potensi masalah yang patut dicermati. Jika transisi paruh waktu ke penuh waktu berjalan terlalu lambat, tenaga honorer bisa kembali merasa dipinggirkan. Apalagi, mereka sudah terdaftar resmi dalam sistem BKN dan menyandang status legal sebagai PPPK.

Di sinilah diperlukan komunikasi publik yang jernih. Pemerintah harus mampu menjelaskan mengapa kebijakan bertahap lebih rasional dan bagaimana strategi fiskal ini tetap menjamin kepentingan rakyat luas. Transparansi akan menjadi kunci menjaga kepercayaan para pegawai.

3. Konsekuensi Administratif dan Teknis

Ilustrasi PPPK. /Antara/Eddy A/Kominfo HSU Antara/Eddy A/Kominfo HSU
Ilustrasi PPPK. /Antara/Eddy A/Kominfo HSU Antara/Eddy A/Kominfo HSU

Perbedaan antara PPPK paruh waktu dan penuh waktu bukan hanya soal jam kerja atau gaji. Secara teknis, belanja paruh waktu dicatat dalam kode belanja jasa, sementara penuh waktu masuk ke belanja pegawai. Perubahan kode ini menuntut penyesuaian besar dalam sistem keuangan daerah.

Jika pengelolaan transisi ini ceroboh, risiko pembengkakan anggaran dan pelanggaran aturan keuangan sangat besar. Oleh karena itu, perencanaan detail dan koordinasi antar-OPD menjadi mutlak. Badan Kepegawaian Daerah (BKD) pun harus menyiapkan panduan teknis yang jelas agar tidak terjadi tumpang tindih.

Refleksinya, kebijakan kepegawaian tidak bisa dipandang sebatas administratif. Ada dimensi teknis yang sangat menentukan keberhasilan implementasi di lapangan. Inilah yang kerap dilupakan publik dalam membaca isu besar pengangkatan PPPK.

4. Implikasi Sosial dan Psikologis

Tidak sedikit tenaga honorer yang sudah puluhan tahun mengabdi tanpa kepastian status. Bagi mereka, kabar pengangkatan ini adalah titik terang yang selama ini dinanti. Meski baru paruh waktu, ada legitimasi moral dan sosial yang mereka peroleh.

Namun, implikasi psikologis juga harus diperhitungkan. Jika terlalu lama menunggu status penuh, rasa kecewa bisa kembali menguat. Harapan besar yang tidak segera diwujudkan bisa berubah menjadi tekanan sosial terhadap pemerintah daerah.

Kebijakan ini, dengan demikian, bukan sekadar soal birokrasi. Ia adalah soal keadilan, penghargaan, dan motivasi kerja ribuan orang yang menjadi wajah pelayanan publik. Mengelola ekspektasi menjadi sama pentingnya dengan mengelola anggaran.

5. Jalan Tengah yang Perlu Dijaga

Langkah bertahap yang ditempuh Pemprov Jabar bisa dianggap solusi realistis. Belanja pegawai tetap terkendali, sementara tenaga honorer mulai mendapat kepastian. Jalan tengah ini bisa menjadi contoh bagi daerah lain yang menghadapi persoalan serupa.

Namun, jalan tengah ini harus benar-benar diikuti dengan timeline yang konsisten. Jika janji 2026 diingkari atau tertunda, kredibilitas pemerintah akan dipertaruhkan. Akuntabilitas tidak hanya soal laporan keuangan, tetapi juga soal menepati janji publik.

Refleksinya, kebijakan yang baik harus berpijak pada keseimbangan antara kemampuan fiskal, keadilan sosial, dan konsistensi pelaksanaan. Tanpa itu, jalan tengah bisa menjadi sekadar retorika politik yang kehilangan makna.

Penutup

Kebijakan pengangkatan PPPK paruh waktu di Jawa Barat patut diapresiasi sebagai langkah maju dalam penyelesaian masalah honorer. Namun, apresiasi itu harus diiringi dengan sikap kritis agar proses transisi menuju status penuh berjalan konsisten dan adil. Sebab, pelayanan publik yang bermutu hanya lahir dari aparatur yang sejahtera dan dihargai.

Sebagaimana diingatkan oleh filsuf John Rawls, “Keadilan adalah kebajikan utama dari institusi sosial.” Pengangkatan PPPK bukan hanya soal teknis administrasi, tetapi juga refleksi atas komitmen keadilan negara kepada rakyatnya. Wallahu a'lam

Disclaimer

Artikel ini merupakan opini penulis berdasarkan pemberitaan resmi dan analisis kebijakan publik.

Daftar Pustaka

  1. Novianti Nurulliah. (2025, 24 September). Pemprov Jabar Tetapkan 26.968 PPPK Paruh Waktu, Tahun 2026 Mulai Diangkat Penuh. Pikiran Rakyat. https://www.pikiran-rakyat.com/news/pr-019670481/pemprov-jabar-tetapkan-26968-pppk-paruh-waktu-tahun-2026-mulai-diangkat-penuh?page=all
  2. Kementerian PANRB. (2024). Pedoman Pengangkatan PPPK. https://www.menpan.go.id
  3. Badan Kepegawaian Negara. (2025). Data Tenaga Honorer Terdaftar BKN. https://www.bkn.go.id
  4. Pemerintah Provinsi Jawa Barat. (2025). Laporan Kinerja Pemprov Jabar 2025. https://www.jabarprov.go.id
  5. Kompas.com. (2025). Kebijakan Pengangkatan PPPK di Daerah Lain. https://www.kompas.com

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun