4. Kritik atas Tata Kelola dan Kebijakan
Salah satu masalah terbesar dalam pemanfaatan bambu adalah rendahnya produktivitas karena masih bergantung pada bambu alam. Rata-rata panen hanya 2–6 ton per hektar, jauh dari potensi maksimal. Kondisi ini mengindikasikan tata kelola yang belum serius dan minim inovasi.
Kasus hutan bambu di Gunung Ciremai adalah cermin lemahnya regulasi. Larangan panen total justru membuat rumpun terlalu rapat, menyebabkan batang patah dan kerusakan sistem akar. Paradigma konservasi harus direvisi: panen lestari justru bagian dari perawatan bambu.
Refleksinya, tata kelola bambu membutuhkan keseimbangan antara pelestarian dan pemanfaatan. Kritik yang harus digarisbawahi adalah minimnya keberanian pemerintah memasukkan bambu sebagai bagian dari agenda nasional ekonomi hijau.
5. Bambu dan Masa Depan Industri Hijau
Bambu tumbuh 3–5 tahun hingga siap panen, jauh lebih cepat dibanding pohon kayu yang butuh puluhan tahun. Keunggulan ekologis ini membuatnya ideal untuk mendukung target National Determined Contribution (NDC) 2030, yakni menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen.
Pelaksana Tugas Dirjen Industri Agro, Putu Juli Ardika, menegaskan bambu dapat dikembangkan menjadi produk bernilai tinggi seperti furnitur, tekstil, hingga material konstruksi ramah lingkungan. Hal ini membuktikan bambu bukan sekadar komoditas, melainkan katalis transformasi industri hijau.
Refleksi pentingnya, jika kita gagal menyeriusi potensi bambu sekarang, kita akan kehilangan momentum emas menuju ekonomi berkelanjutan. Bambu harus ditempatkan sebagai bagian dari strategi nasional untuk mengurangi emisi sekaligus memperkuat daya saing global.
Penutup
Bambu mengajarkan kita satu hal: kesederhanaan yang menyimpan kekuatan. Dari hutan hingga ruang tamu, dari tradisi hingga industri, bambu adalah jawaban atas krisis kayu dan tantangan iklim. Jika potensi ini tidak segera kita seriusi, maka kita hanya akan menjadi penonton di pasar global.