Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Purbaya Tolak Tax Amnesty, Jangan Insentifkan Orang Kibul-Kibul!

21 September 2025   15:16 Diperbarui: 21 September 2025   15:16 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menkeu Purbaya dan Prabowo luncurkan paket ekonomi Rp16,2 T dengan fokus akselerasi dan serapan tenaga kerja. (ANTARA FOTO/M. Adimaja)

Purbaya Tolak Tax Amnesty,  Jangan Insentifkan Orang Kibul-Kibul! 

“Keadilan pajak bukan soal keringanan, melainkan soal kepercayaan.”

Oleh Karnita

Pendahuluan

Apakah pengampunan pajak bisa menjadi solusi berulang untuk menyelamatkan penerimaan negara? Pertanyaan ini mencuat usai pernyataan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa pada Jumat, 19 September 2025, yang menolak rencana tax amnesty jilid III sebagaimana dilaporkan Kompas.com (20/09/2025). Polemik ini semakin relevan di tengah kondisi ekonomi nasional yang menuntut penerimaan negara stabil.

Mengapa isu ini penting bagi publik? Sejak 2016 hingga 2022, Indonesia sudah dua kali menjalankan kebijakan serupa di era Sri Mulyani. Kini, rencana pengulangan lewat Prolegnas 2025 justru memantik kritik karena dianggap mencederai keadilan fiskal dan budaya kepatuhan pajak. Bagi penulis, topik ini menarik karena membuka ruang refleksi tentang etika, keberlanjutan, dan kredibilitas kebijakan fiskal.

Apa dampaknya bila pemerintah terus mengandalkan tax amnesty? Menurut Purbaya, kebijakan yang dijalankan berulang kali justru melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Urgensinya jelas: tanpa kepatuhan pajak, fondasi fiskal akan rapuh, sementara reformasi perpajakan yang selama ini digagas bisa runtuh oleh sinyal salah arah.

Tax Amnesty: Kebijakan Lama, Polemik Baru

Tax amnesty bukanlah kebijakan baru dalam sejarah perpajakan Indonesia. Sejak 1964 hingga 2022, pemerintah sudah lima kali menggelarnya, dengan tujuan menarik dana tersembunyi serta memperkuat basis data pajak. Namun efektivitasnya selalu menjadi bahan perdebatan, terutama terkait dampak jangka panjang terhadap kepatuhan.

Purbaya menilai, pengulangan tax amnesty hanya memberi ruang pada wajib pajak untuk “bermain aman.” Mereka akan memilih menunda kewajiban, dengan harapan pemerintah kelak kembali memberi pengampunan. Kritik ini memperlihatkan betapa kebijakan fiskal tidak bisa semata dipandang dari aspek penerimaan jangka pendek.

Kebijakan fiskal yang kredibel seharusnya mencerminkan konsistensi dan kepastian hukum. Jika tax amnesty selalu dijadikan “jalan pintas,” maka pesan yang sampai ke publik adalah: pelanggaran akan selalu dimaafkan. Di titik ini, pemerintah justru kehilangan otoritas moral untuk menegakkan kepatuhan pajak.

Purbaya: Tax Amnesty Bukan Jalan Keluar

Dalam pernyataannya, Purbaya menegaskan bahwa tax amnesty tidak membuat wajib pajak lebih taat. Sebaliknya, kebijakan itu mendorong perilaku spekulatif dan melanggar aturan, karena mereka yakin akan ada pengampunan lagi. Kritik ini menyentuh persoalan mendasar: insentif yang salah akan melahirkan moral hazard.

Ia mencontohkan, bila tax amnesty muncul setiap dua atau tiga tahun, maka wajib pajak justru terdorong menyembunyikan harta. Hal ini jelas berbahaya, karena tidak hanya menggerus penerimaan negara, tetapi juga merusak budaya kepatuhan jangka panjang.

Bagi Purbaya, solusi yang tepat adalah memperkuat sistem pajak, menegakkan aturan dengan adil, dan memberi perlakuan yang baik kepada wajib pajak patuh. Di sinilah terletak kritik tajamnya: pemerintah tidak boleh mengorbankan keadilan demi target fiskal jangka pendek.

Antara Kepatuhan dan Keadilan Fiskal

Pajak sejatinya bukan sekadar instrumen fiskal, melainkan cermin keadilan sosial. Bila kelompok menengah-bawah terus dibebani kenaikan PPN hingga 12 persen, sementara kelompok kaya justru mendapat keringanan lewat tax amnesty, maka jurang ketidakadilan semakin melebar.

Kritik publik terhadap wacana tax amnesty jilid III juga berangkat dari realitas ini. Bagaimana mungkin pemerintah berharap kepatuhan tumbuh, bila aturan terasa berat sebelah? Rasa keadilan menjadi taruhannya, dan sekali ia terkikis, sulit untuk memulihkannya.

Dengan menolak tax amnesty, Purbaya sesungguhnya ingin mengirim pesan bahwa keadilan fiskal lebih penting dari sekadar penerimaan instan. Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah harus dibangun lewat konsistensi, bukan kelonggaran yang berulang.

Tarik Ulur di Senayan: Politik dan Ekonomi

Menkeu Purbaya  usai bertemu Presiden Prabowo Subianto di  Istana Kepresidenan, Jakpus, Jumat (19/9/2025) malam. (KOMPAS.com/FIKA N.U.)
Menkeu Purbaya  usai bertemu Presiden Prabowo Subianto di  Istana Kepresidenan, Jakpus, Jumat (19/9/2025) malam. (KOMPAS.com/FIKA N.U.)

Meski Purbaya menolak, DPR RI tetap memasukkan RUU pengampunan pajak ke dalam Prolegnas 2025. Langkah ini menegaskan adanya tarik-menarik kepentingan antara kebutuhan penerimaan negara dan prinsip keadilan fiskal.

Bagi sebagian legislator, tax amnesty dianggap cara cepat untuk menutup defisit anggaran. Namun, bagi sebagian ekonom dan masyarakat sipil, kebijakan itu justru melemahkan kredibilitas fiskal negara. Kontroversi ini mencerminkan dilema klasik antara kepentingan politik jangka pendek dan keberlanjutan kebijakan publik.

Polemik di Senayan menjadi cermin bagaimana kebijakan perpajakan tidak pernah netral. Ia selalu melibatkan negosiasi, kompromi, dan kepentingan yang berlapis-lapis. Justru di titik inilah transparansi dan akuntabilitas menjadi syarat mutlak.

Refleksi: Apa yang Bisa Dipetik?

Menolak tax amnesty berarti memilih jalan yang lebih sulit, tetapi lebih berkelanjutan. Jalan ini membutuhkan sistem perpajakan yang kuat, aparat yang bersih, dan penegakan hukum yang konsisten. Tanpa itu semua, kebijakan apa pun akan kembali tumpul.

Kritik Purbaya dapat dipandang sebagai upaya menjaga kredibilitas fiskal. Meski tidak populer di mata sebagian kalangan, sikap ini memberi pesan penting: negara harus berpihak pada pembayar pajak yang taat, bukan pada mereka yang sengaja melanggar aturan.

Refleksi ini relevan bagi publik. Kita diingatkan bahwa kepatuhan tidak lahir dari insentif sesaat, melainkan dari rasa percaya pada sistem. Dan kepercayaan hanya tumbuh bila hukum ditegakkan tanpa pandang bulu.

Penutup

Menolak tax amnesty jilid III adalah pilihan politik dan ekonomi yang penuh risiko. Namun, seperti diingatkan Purbaya, risiko yang lebih besar justru lahir bila pemerintah terus mengulang pola pengampunan yang melemahkan kepatuhan. “Kalau kredibilitas negara runtuh, akan sulit membangun budaya kepatuhan,” katanya tegas.

Kebijakan pajak seharusnya tidak hanya menghitung angka penerimaan, tetapi juga menjaga rasa keadilan. Dari titik inilah, kita belajar bahwa kebijakan fiskal yang kuat harus berdiri di atas pondasi integritas, bukan sekadar kompromi. Sebagaimana ungkapan bijak, “Kepercayaan adalah modal terbesar sebuah negara; tanpa itu, angka-angka hanyalah ilusi.”

Disclaimer

Tulisan ini merupakan analisis independen berdasarkan pemberitaan Kompas.com dan sumber terbuka lainnya.

Daftar Pustaka

  1. Kompas.com. (20 September 2025). Kenapa Menkeu Purbaya Tolak Tax Amnesty Jilid III? https://www.kompas.com/tren/read/2025/09/20/161500565/kenapa-menkeu-purbaya-tolak-tax-amnesty-jilid-iii-?page=all#page2
  2. Kompas.com. (20 November 2024). Apa Itu Tax Amnesty? https://www.kompas.com/tren/read/2024/11/20/060000565/apa-itu-tax-amnesty
  3. Kompas.com. (19 September 2025). Purbaya Tegaskan Tax Amnesty Bukan Solusi. https://www.kompas.com/ekonomi/read/2025/09/19/180000565/purbaya-tegaskan-tax-amnesty-bukan-solusi
  4. Kompas.id. (2025). Dana Rp 200 Triliun Bebas Disalurkan, Apa Syaratnya? https://www.kompas.id/dana-rp-200-triliun-bebas-disalurkan-apa-syaratnya
  5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun