Meski Purbaya menolak, DPR RI tetap memasukkan RUU pengampunan pajak ke dalam Prolegnas 2025. Langkah ini menegaskan adanya tarik-menarik kepentingan antara kebutuhan penerimaan negara dan prinsip keadilan fiskal.
Bagi sebagian legislator, tax amnesty dianggap cara cepat untuk menutup defisit anggaran. Namun, bagi sebagian ekonom dan masyarakat sipil, kebijakan itu justru melemahkan kredibilitas fiskal negara. Kontroversi ini mencerminkan dilema klasik antara kepentingan politik jangka pendek dan keberlanjutan kebijakan publik.
Polemik di Senayan menjadi cermin bagaimana kebijakan perpajakan tidak pernah netral. Ia selalu melibatkan negosiasi, kompromi, dan kepentingan yang berlapis-lapis. Justru di titik inilah transparansi dan akuntabilitas menjadi syarat mutlak.
Refleksi: Apa yang Bisa Dipetik?
Menolak tax amnesty berarti memilih jalan yang lebih sulit, tetapi lebih berkelanjutan. Jalan ini membutuhkan sistem perpajakan yang kuat, aparat yang bersih, dan penegakan hukum yang konsisten. Tanpa itu semua, kebijakan apa pun akan kembali tumpul.
Kritik Purbaya dapat dipandang sebagai upaya menjaga kredibilitas fiskal. Meski tidak populer di mata sebagian kalangan, sikap ini memberi pesan penting: negara harus berpihak pada pembayar pajak yang taat, bukan pada mereka yang sengaja melanggar aturan.
Refleksi ini relevan bagi publik. Kita diingatkan bahwa kepatuhan tidak lahir dari insentif sesaat, melainkan dari rasa percaya pada sistem. Dan kepercayaan hanya tumbuh bila hukum ditegakkan tanpa pandang bulu.
Penutup
Menolak tax amnesty jilid III adalah pilihan politik dan ekonomi yang penuh risiko. Namun, seperti diingatkan Purbaya, risiko yang lebih besar justru lahir bila pemerintah terus mengulang pola pengampunan yang melemahkan kepatuhan. “Kalau kredibilitas negara runtuh, akan sulit membangun budaya kepatuhan,” katanya tegas.
Kebijakan pajak seharusnya tidak hanya menghitung angka penerimaan, tetapi juga menjaga rasa keadilan. Dari titik inilah, kita belajar bahwa kebijakan fiskal yang kuat harus berdiri di atas pondasi integritas, bukan sekadar kompromi. Sebagaimana ungkapan bijak, “Kepercayaan adalah modal terbesar sebuah negara; tanpa itu, angka-angka hanyalah ilusi.”
Disclaimer