Kebijakan fiskal yang kredibel seharusnya mencerminkan konsistensi dan kepastian hukum. Jika tax amnesty selalu dijadikan “jalan pintas,” maka pesan yang sampai ke publik adalah: pelanggaran akan selalu dimaafkan. Di titik ini, pemerintah justru kehilangan otoritas moral untuk menegakkan kepatuhan pajak.
Purbaya: Tax Amnesty Bukan Jalan Keluar
Dalam pernyataannya, Purbaya menegaskan bahwa tax amnesty tidak membuat wajib pajak lebih taat. Sebaliknya, kebijakan itu mendorong perilaku spekulatif dan melanggar aturan, karena mereka yakin akan ada pengampunan lagi. Kritik ini menyentuh persoalan mendasar: insentif yang salah akan melahirkan moral hazard.
Ia mencontohkan, bila tax amnesty muncul setiap dua atau tiga tahun, maka wajib pajak justru terdorong menyembunyikan harta. Hal ini jelas berbahaya, karena tidak hanya menggerus penerimaan negara, tetapi juga merusak budaya kepatuhan jangka panjang.
Bagi Purbaya, solusi yang tepat adalah memperkuat sistem pajak, menegakkan aturan dengan adil, dan memberi perlakuan yang baik kepada wajib pajak patuh. Di sinilah terletak kritik tajamnya: pemerintah tidak boleh mengorbankan keadilan demi target fiskal jangka pendek.
Antara Kepatuhan dan Keadilan Fiskal
Pajak sejatinya bukan sekadar instrumen fiskal, melainkan cermin keadilan sosial. Bila kelompok menengah-bawah terus dibebani kenaikan PPN hingga 12 persen, sementara kelompok kaya justru mendapat keringanan lewat tax amnesty, maka jurang ketidakadilan semakin melebar.
Kritik publik terhadap wacana tax amnesty jilid III juga berangkat dari realitas ini. Bagaimana mungkin pemerintah berharap kepatuhan tumbuh, bila aturan terasa berat sebelah? Rasa keadilan menjadi taruhannya, dan sekali ia terkikis, sulit untuk memulihkannya.
Dengan menolak tax amnesty, Purbaya sesungguhnya ingin mengirim pesan bahwa keadilan fiskal lebih penting dari sekadar penerimaan instan. Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah harus dibangun lewat konsistensi, bukan kelonggaran yang berulang.
Tarik Ulur di Senayan: Politik dan Ekonomi