Sampah Caringin, Cermin Tata Kelola Pasar Kita
"Lingkungan yang bersih bukanlah hadiah, melainkan hasil kerja kolektif yang konsisten."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Apakah pasar yang ramai jual beli harus identik dengan tumpukan sampah? Pertanyaan ini terasa menggelitik ketika kita membaca laporan Pikiran Rakyat berjudul “Sampah Menggunung di Pasar Caringin Bandung, Apa yang Harus Dilakukan Pengelola?” (18 September 2025). Foto-foto memperlihatkan pengendara yang melintas di samping gunungan sampah di Pasar Induk Caringin, seolah menjadi ironi di tengah jargon Bandung Juara yang selalu digaungkan.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, sudah menegaskan dirinya tak akan lagi turun tangan, karena urusan sampah pasar adalah tanggung jawab pengelola. Pernyataan itu, selain tegas, juga menohok kesadaran kolektif kita tentang arti “tanggung jawab” dalam tata kelola publik. Ketika pemerintah daerah sudah menyiapkan regulasi—seperti Perda Nomor 9 Tahun 2018—maka tidak ada alasan bagi pengelola pasar untuk menghindar.
Penulis tertarik membedah isu ini karena ia bukan sekadar perkara tumpukan sampah. Lebih jauh, ini tentang pola pikir, budaya mengelola fasilitas publik, dan komitmen pihak swasta dalam menjalankan kewajiban. Relevansi masalah Caringin dengan isu nasional jelas: pengelolaan sampah adalah problem kota besar Indonesia, dan tanpa tata kelola yang jelas, pasar tradisional akan semakin kehilangan wibawa.
1. Pasar sebagai Nadi Ekonomi, tapi Luka di Lingkungan
Pasar Induk Caringin adalah salah satu sentra ekonomi terbesar di Bandung. Setiap hari ribuan pedagang dan pembeli bertemu, menghasilkan denyut ekonomi yang vital. Namun denyut itu kerap disertai luka berupa timbulan sampah yang mencemari pandangan, udara, dan kesehatan masyarakat.
Ketika pasar menjadi pusat kehidupan, maka kebersihannya adalah wajah peradaban kota. Sayangnya, wajah itu kini keruh oleh pengabaian pengelola yang lebih mementingkan keuntungan daripada tanggung jawab lingkungan. Kritik publik, termasuk dari warganet, menunjukkan bahwa citra pasar kini berbanding lurus dengan tumpukan sampahnya.
Pesannya jelas: ekonomi tidak bisa berjalan sehat di atas fondasi lingkungan yang sakit. Pasar seharusnya menularkan nilai tertib, disiplin, dan kepedulian bersama, bukan justru menjadi contoh buruk bagi generasi berikutnya. Refleksi ini mengingatkan bahwa modernisasi pasar bukan hanya soal bangunan megah, melainkan tata kelola berkelanjutan.
2. Regulasi Ada, tapi Implementasi Tersendat
Perda Nomor 9 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah seharusnya menjadi pegangan kokoh. Regulasi itu menegaskan kewajiban pengelola kawasan, termasuk pasar, untuk bertanggung jawab atas limbah yang mereka hasilkan. Pemerintah bahkan sudah menawarkan solusi teknis dengan membawa sampah Caringin ke Pasar Gedebage yang memiliki fasilitas pengolahan.
Namun yang muncul justru penolakan dari pengelola Caringin, dengan alasan tidak mau membayar retribusi. Sikap ini menggambarkan lemahnya komitmen dan ketidakmauan untuk berinvestasi dalam pengelolaan lingkungan. Padahal, retribusi adalah bagian dari biaya operasional yang logis dalam menjaga keberlanjutan fasilitas.
Kritik masyarakat pun menjadi relevan: bagaimana mungkin sebuah pasar besar, yang omzet harian pedagangnya mencapai miliaran rupiah, enggan menanggung biaya kebersihan? Refleksi dari sini jelas: regulasi tanpa implementasi hanyalah kertas kosong.
3. Ego Pengelola vs. Kepentingan Publik
Salah satu titik persoalan ada pada tarik-menarik ego pengelola dengan kepentingan publik. Gubernur Jabar sudah mengingatkan berkali-kali, bahkan pernah turun langsung membersihkan. Namun ketika arahan diabaikan, publik akhirnya menyaksikan drama klasik: “saling lempar tanggung jawab.”
Ego pengelola terlihat dalam sikap abai terhadap solusi yang ditawarkan. Bagi mereka, retribusi sampah dianggap beban, bukan investasi. Padahal bagi publik, sampah yang menumpuk adalah ancaman kesehatan, ketidaknyamanan, dan merusak citra kota.
Pesan penting dari kondisi ini adalah perlunya menyeimbangkan kepentingan privat dan publik. Pengelola pasar tidak boleh melupakan bahwa pasar adalah ruang hidup bersama, bukan sekadar ladang mencari keuntungan. Refleksi kritisnya: ketika ego dibiarkan mendominasi, publiklah yang menanggung kerugian terbesar.
4. Budaya Buang Sampah: Masalah Kita Semua
Namun, apakah masalah ini hanya salah pengelola? Tentu tidak sesederhana itu. Budaya buang sampah sembarangan di kalangan pedagang dan pembeli juga memperparah kondisi. Pasar tradisional sering kali identik dengan pemandangan plastik, sisa sayur, dan bau menyengat yang dianggap “biasa.”
Jika masyarakat tidak ikut berubah, tumpukan sampah akan terus muncul meski ada regulasi dan fasilitas. Edukasi lingkungan harus digencarkan, misalnya dengan mewajibkan pedagang memilah sampah organik dan anorganik. Bahkan, sampah organik pasar bisa diolah menjadi kompos atau pakan ternak jika dikelola serius.
Pesan yang bisa dipetik: kebersihan pasar adalah cermin budaya warga kotanya. Refleksinya: mengubah pasar berarti juga mengubah pola pikir ribuan orang yang berinteraksi di dalamnya setiap hari.
5. Jalan Keluar: Kolaborasi dan Transparansi
Lantas, apa yang seharusnya dilakukan? Pertama, pengelola pasar wajib tunduk pada regulasi dan membayar retribusi sebagai bentuk tanggung jawab. Kedua, pemerintah perlu bersikap tegas agar tidak ada lagi ruang untuk pengabaian. Ketiga, pedagang dan pembeli harus dilibatkan dalam gerakan kebersihan yang terukur.
Solusi yang ditawarkan DLH Bandung untuk membawa sampah ke Pasar Gedebage seharusnya segera diimplementasikan. Dengan transparansi biaya dan kolaborasi lintas pihak, jalan keluar bisa lebih cepat ditemukan. Pasar yang bersih akan menguntungkan semua pihak, bukan hanya pemerintah atau pedagang.
Refleksi akhirnya adalah: masalah sampah Caringin adalah cermin lebih besar dari tata kelola kita. Jika kita mampu mengatasi sampah di pasar, itu pertanda kita siap mengatasi masalah kota secara lebih luas.
Penutup
Kasus sampah di Pasar Caringin adalah tamparan keras bagi semua pihak. Ia menegaskan bahwa pembangunan tidak hanya bicara soal ekonomi, tetapi juga tanggung jawab lingkungan. Jika pengelola pasar enggan berubah, maka wajah pasar akan terus menjadi luka yang terbuka.
Seperti kata Mahatma Gandhi, “Kebersihan adalah bagian dari iman.” Maka, membersihkan pasar bukan hanya urusan teknis, melainkan cermin moralitas kolektif. Apabila kita gagal menjaga kebersihan pasar, bagaimana mungkin kita berbicara tentang kota yang beradab?
Disclaimer
Artikel ini adalah opini penulis yang disusun berdasarkan pemberitaan media dan regulasi resmi, tidak mewakili institusi mana pun.
Daftar Pustaka
- Irwan Suherman, Gita Pratiwi (Ed.). (2025, 18 September). Sampah Menggunung di Pasar Caringin Bandung, Apa yang Harus Dilakukan Pengelola? Pikiran Rakyat. https://www.pikiran-rakyat.com/news/pr-019654842/sampah-menggunung-di-pasar-caringin-bandung-apa-yang-harus-dilakukan-pengelola?page=all
- Pemerintah Kota Bandung. (2018). Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah. https://jdih.bandung.go.id
- Kompas.com. (2025, 15 September). Pengelolaan Sampah Kota Bandung Masih Hadapi Kendala. https://www.kompas.com
- DLH Kota Bandung. (2024). Laporan Tahunan Pengelolaan Sampah Kota Bandung. https://dlh.bandung.go.id
- Republika.co.id. (2025, 17 September). Sampah Pasar Tradisional Jadi Sorotan Publik. https://www.republika.co.id
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI