Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Enam Pihak Ditagih Janji, Rakyat Menunggu Bukti, Bukan Sekadar Angin Lalu!

6 September 2025   05:26 Diperbarui: 6 September 2025   05:26 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Sejumlah influencer menyerahkan tuntutan 17+8 ke Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (4/9/2025). Foto: Bayu Adji P./Republika

Pesan rakyat jelas: kepemimpinan sejati diukur dari keberanian menepati janji, bukan sekadar retorika. Saat harga kebutuhan pokok melonjak, rakyat menanti kebijakan yang melindungi daya beli mereka. Lambannya respons hanya akan memperlebar jarak antara istana dan rakyat.

Refleksinya, rakyat bukan menolak kepemimpinan, melainkan menagih realisasi. Presiden Prabowo berada dalam ujian sejarah: apakah akan tercatat sebagai pemimpin yang menepati janji, atau sekadar menambah deretan janji yang terlupakan?

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Sejumlah Elemen Mahasiswa Sampaikan tuntutan di Depan Pimpinan DPR. (Dok. Onenews.com)
Sejumlah Elemen Mahasiswa Sampaikan tuntutan di Depan Pimpinan DPR. (Dok. Onenews.com)

DPR adalah simbol representasi rakyat, namun justru sering dituduh jauh dari rakyatnya. Tuntutan utama adalah reformasi internal: audit independen, transparansi anggaran, dan partisipasi publik dalam legislasi. Sorotan tajam lahir dari kesan bahwa DPR lebih sibuk dengan kepentingan partai daripada suara konstituen.

Kritik yang muncul menyinggung praktik legislasi yang terburu-buru dan minim konsultasi publik. Undang-undang yang disahkan kerap memihak pemodal besar, bukan rakyat kecil. Akibatnya, DPR kian kehilangan legitimasi moral di mata publik.

Refleksinya, jika DPR serius menegakkan fungsi pengawasan, publik akan kembali percaya. Namun tanpa perubahan nyata, suara “reformasi DPR” akan terus menggema dalam setiap demonstrasi rakyat.

Ketua Umum Partai Politik

Parpol dituntut untuk menghentikan praktik oligarki yang mengerdilkan demokrasi. Publik menilai ketua umum parpol terlalu fokus pada koalisi dan transaksi politik, sementara kaderisasi dan pendidikan politik diabaikan. Janji reformasi internal partai belum terlihat nyata.

Kritik diarahkan pada praktik mahar politik yang mempersempit peluang bagi kader potensial. Demokrasi yang seharusnya terbuka malah tersandera modal besar. Akibatnya, rakyat merasa parpol hanya menjadi milik segelintir elite.

Refleksinya, parpol harus kembali pada fungsi sejatinya: sekolah politik rakyat. Tanpa reformasi struktural, janji “demokrasi sehat” akan tinggal wacana belaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun