Bom Waktu Whoosh: Optimisme atau Beban Baru?
"Membangun infrastruktur itu penting, tapi menjaga keberlanjutan jauh lebih mendesak."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Pernahkah kita membayangkan sebuah proyek kebanggaan nasional justru berubah menjadi beban yang menakutkan? Di bawah langit Senayan, Jakarta, Rabu, 20 Agustus 2025, rapat Komisi VI DPR bersama jajaran BUMN menghadirkan pernyataan mengejutkan. Pikiran Rakyat (23/8/2025) menurunkan laporan berjudul “Kata Bos Danantara Soal 'Bom Waktu' Kereta Cepat Whoosh: Sedang Kami Bereskan Itu”, yang menggambarkan bagaimana infrastruktur prestisius itu kini menyisakan keresahan publik.
Urgensi berita ini tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa PT KAI, sebagai pemegang saham mayoritas di PSBI, harus menanggung konsekuensi besar. Direktur Utama PT KAI, Boby Rasyidin, menyebut proyek kereta cepat Jakarta-Bandung sebagai “bom waktu” yang membebani keuangan perusahaan. Situasi ini menjadi relevan karena menyangkut keberlanjutan layanan transportasi publik dan kesehatan keuangan BUMN strategis.
Penulis tertarik mengulasnya karena isu ini bukan sekadar soal utang dan neraca keuangan. Lebih jauh, ia berkaitan dengan arah pembangunan nasional, prioritas pemerintah, dan kepercayaan publik pada proyek infrastruktur besar. Di tengah wacana efisiensi anggaran negara, beban finansial Whoosh menjadi cermin persoalan tata kelola BUMN yang perlu dievaluasi secara serius.
Proyek Prestisius yang Menjadi Beban
Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung awalnya didengungkan sebagai simbol modernitas Indonesia. Infrastruktur ini diyakini akan mempercepat mobilitas, meningkatkan daya saing ekonomi, dan memberi citra positif di kancah global. Namun, fakta yang muncul justru berbanding terbalik dengan ekspektasi besar yang pernah dijanjikan.
Kini, narasi "bom waktu" menjadi sorotan karena risiko utang yang menumpuk dan sulit dikendalikan. PT KAI sebagai pemegang saham mayoritas harus menanggung konsekuensi jangka panjang. Publik mulai mempertanyakan apakah manfaat yang dirasakan sebanding dengan pengorbanan finansial yang dilakukan.
Dalam refleksi, proyek prestisius tanpa perencanaan matang justru menjadi beban yang diwariskan. Infrastruktur tidak boleh hanya berorientasi pada kebanggaan jangka pendek, melainkan juga pada keberlanjutan jangka panjang. Seperti kata pepatah, “utang bisa dibayar, tetapi kehilangan kepercayaan akan jauh lebih sulit ditebus.”
Tata Kelola BUMN yang Diuji
Kasus Whoosh membuka diskursus lebih luas tentang tata kelola BUMN. PT KAI, sebagai tulang punggung transportasi kereta di Indonesia, kini menghadapi tekanan besar untuk menjaga likuiditas. BUMN bukan sekadar entitas bisnis, melainkan instrumen strategis negara dalam melayani publik.
Jika tata kelola tidak transparan, risiko mismanajemen akan semakin besar. Beban proyek Whoosh harus dipandang sebagai pelajaran kolektif dalam menyeimbangkan idealisme pembangunan dan kesehatan korporasi. DPR dan publik berhak mempertanyakan konsistensi pemerintah dalam mengawasi serta memastikan keberlanjutan.
Refleksi dari kasus ini adalah urgensi pembenahan sistem pengawasan dan akuntabilitas. Jangan sampai proyek nasional bergengsi justru menjadi simbol kegagalan manajemen. Akhirnya, yang dirugikan bukan hanya BUMN, melainkan juga masyarakat sebagai pengguna layanan.
Hutang dan Bayang-Bayang Krisis
Dalam rapat di DPR, Boby Rasyidin menyebut utang proyek ini sebagai ancaman serius. Angka yang membengkak bukan hanya mengganggu likuiditas KAI, tetapi juga menciptakan risiko domino bagi sektor transportasi lainnya. Utang yang tidak terkelola dengan baik bisa menjadi pemicu krisis kepercayaan publik terhadap BUMN.
Di balik itu, ada pertanyaan besar: siapa sebenarnya yang harus menanggung beban ini? Jika negara turun tangan dengan bail-out, maka masyarakatlah yang ikut membayar melalui pajak. Jika dibiarkan, BUMN bisa terguncang dan kehilangan daya saing. Pilihan ini sama-sama pahit.
Refleksi dari situasi ini adalah pentingnya kebijakan mitigasi risiko yang lebih tajam. Proyek besar harus dikalkulasi dengan asumsi realistis, bukan sekadar narasi optimisme. Keberanian mengakui masalah adalah langkah awal, tetapi keberanian mencari solusi yang adil jauh lebih penting.
Optimisme Pemerintah dan Janji Perbaikan
CEO Danantara Indonesia, Rosan Roeslani, menegaskan bahwa masalah ini sedang dibereskan. Pernyataan tersebut memberi sedikit ruang optimisme di tengah kekhawatiran publik. Namun, masyarakat tetap menunggu bukti nyata dalam bentuk langkah konkret.
Optimisme pemerintah memang penting untuk menjaga stabilitas psikologis pasar dan publik. Tetapi janji perbaikan harus dibarengi transparansi data dan rencana kerja yang jelas. Tanpa itu, optimisme hanya akan dianggap retorika kosong yang mengulur waktu.
Refleksi pentingnya adalah konsistensi antara narasi publik dan kerja nyata. Proyek strategis membutuhkan komunikasi yang jujur dan berani, bukan sekadar penyemangat semu. Seperti kata pepatah lama, “janji tanpa bukti hanyalah mimpi di siang bolong.”
Pelajaran Pahit bagi Pembangunan Nasional
Kasus Whoosh menjadi pelajaran berharga bagi kebijakan pembangunan nasional. Infrastruktur memang dibutuhkan, tetapi harus sesuai dengan kemampuan fiskal dan kebutuhan masyarakat. Jangan sampai orientasi gengsi lebih menonjol daripada orientasi kebermanfaatan.
Krisis ini menegaskan bahwa setiap proyek besar harus melewati uji kelayakan yang komprehensif. Aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan tidak boleh diabaikan demi percepatan. Kegagalan melihat risiko secara menyeluruh hanya akan memperburuk kondisi.
Refleksi akhirnya adalah perlunya paradigma pembangunan yang berkesinambungan. Keputusan strategis harus ditempatkan dalam kerangka kepentingan rakyat jangka panjang. Jika tidak, proyek besar akan terus menjadi "bom waktu" yang meledak di tangan generasi berikutnya.
Penutup
Pernyataan “bom waktu” dari Dirut PT KAI menjadi alarm serius bagi publik dan pemerintah. Infrastruktur yang dibangun dengan semangat besar harus diimbangi dengan kalkulasi matang agar tidak menjadi beban. Optimisme saja tidak cukup, transparansi dan konsistensi adalah kunci.
Kasus Whoosh adalah cermin bahwa pembangunan nasional tidak boleh terburu-buru. Ia harus berangkat dari perencanaan yang menyeluruh, berlandaskan keberlanjutan, dan berpihak pada rakyat. Seperti diungkapkan seorang ekonom, “Keberhasilan pembangunan bukan diukur dari panjang rel yang terpasang, tetapi dari seberapa besar rakyat merasakan manfaatnya.” Wallahu a'lam.
Disclaimer
Tulisan ini merupakan analisis independen berdasarkan pemberitaan di media. Pendapat dalam artikel sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Daftar Pustaka
- Pikiran Rakyat. (2025, 23 Agustus). Kata Bos Danantara Soal 'Bom Waktu' Kereta Cepat Whoosh: Sedang Kami Bereskan Itu. https://www.pikiran-rakyat.com/ekonomi/pr-019593323/kata-bos-danantara-soal-bom-waktu-kereta-cepat-whoosh-sedang-kami-bereskan-itu?page=2
- Antara. (2025, 20 Agustus). Dirut PT KAI Akui Proyek Kereta Cepat 'Bom Waktu'. https://www.antaranews.com
- Kompas. (2025, 21 Agustus). Kereta Cepat dan Tantangan BUMN. https://www.kompas.com
- CNBC Indonesia. (2025, 22 Agustus). Utang Kereta Cepat Membengkak, Bagaimana Solusinya? https://www.cnbcindonesia.com
- Tempo. (2025, 23 Agustus). Membaca Risiko Proyek Infrastruktur Ambisius. https://www.tempo.co
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI