Dalam refleksi, proyek prestisius tanpa perencanaan matang justru menjadi beban yang diwariskan. Infrastruktur tidak boleh hanya berorientasi pada kebanggaan jangka pendek, melainkan juga pada keberlanjutan jangka panjang. Seperti kata pepatah, “utang bisa dibayar, tetapi kehilangan kepercayaan akan jauh lebih sulit ditebus.”
Tata Kelola BUMN yang Diuji
Kasus Whoosh membuka diskursus lebih luas tentang tata kelola BUMN. PT KAI, sebagai tulang punggung transportasi kereta di Indonesia, kini menghadapi tekanan besar untuk menjaga likuiditas. BUMN bukan sekadar entitas bisnis, melainkan instrumen strategis negara dalam melayani publik.
Jika tata kelola tidak transparan, risiko mismanajemen akan semakin besar. Beban proyek Whoosh harus dipandang sebagai pelajaran kolektif dalam menyeimbangkan idealisme pembangunan dan kesehatan korporasi. DPR dan publik berhak mempertanyakan konsistensi pemerintah dalam mengawasi serta memastikan keberlanjutan.
Refleksi dari kasus ini adalah urgensi pembenahan sistem pengawasan dan akuntabilitas. Jangan sampai proyek nasional bergengsi justru menjadi simbol kegagalan manajemen. Akhirnya, yang dirugikan bukan hanya BUMN, melainkan juga masyarakat sebagai pengguna layanan.
Hutang dan Bayang-Bayang Krisis
Dalam rapat di DPR, Boby Rasyidin menyebut utang proyek ini sebagai ancaman serius. Angka yang membengkak bukan hanya mengganggu likuiditas KAI, tetapi juga menciptakan risiko domino bagi sektor transportasi lainnya. Utang yang tidak terkelola dengan baik bisa menjadi pemicu krisis kepercayaan publik terhadap BUMN.
Di balik itu, ada pertanyaan besar: siapa sebenarnya yang harus menanggung beban ini? Jika negara turun tangan dengan bail-out, maka masyarakatlah yang ikut membayar melalui pajak. Jika dibiarkan, BUMN bisa terguncang dan kehilangan daya saing. Pilihan ini sama-sama pahit.
Refleksi dari situasi ini adalah pentingnya kebijakan mitigasi risiko yang lebih tajam. Proyek besar harus dikalkulasi dengan asumsi realistis, bukan sekadar narasi optimisme. Keberanian mengakui masalah adalah langkah awal, tetapi keberanian mencari solusi yang adil jauh lebih penting.
Optimisme Pemerintah dan Janji Perbaikan