Contoh-contoh sederhana ini memperlihatkan betapa berbahayanya prasangka yang terburu-buru. Kita hanya melihat permukaan, lalu berasumsi. Padahal, setiap manusia adalah buku panjang yang baru kita lihat sampulnya. Membaca halaman demi halaman membutuhkan kesabaran, dan di situlah pengertian bekerja.
Viktor Frankl menegaskan dalam bukunya Man’s Search for Meaning: “Between stimulus and response there is a space. In that space lies our freedom to choose.” Ruang jeda itu bisa kita isi dengan prasangka, atau dengan pengertian.
Membangun Budaya Memahami
Pertanyaannya, bagaimana kita bisa melatih diri agar lebih banyak mengulurkan pengertian daripada menebar prasangka? Pertama, biasakan melakukan empathy check—berhenti sejenak sebelum menilai, lalu bertanya, “Apa yang mungkin sedang ia alami?” Langkah sederhana ini terbukti dapat menurunkan reaktivitas emosional.
Kedua, ciptakan budaya dialog dalam lingkaran sosial kita. Di kantor, keluarga, atau komunitas, biasakan mendengar lebih dulu sebelum bereaksi. Dengan begitu, penilaian tidak sekadar berangkat dari asumsi pribadi, melainkan dari pemahaman konteks.
Ketiga, latih kesadaran diri. Banyak prasangka muncul bukan karena orang lain, tapi karena luka atau bias dalam diri kita sendiri. Semakin kita bisa menerima diri dengan segala kekurangan, semakin mudah pula kita memahami orang lain.
Carl Rogers berkata: “The curious paradox is that when I accept myself just as I am, then I can change.” Dari penerimaan diri, lahir empati yang lebih tulus untuk sesama.
Penutup
Menghakimi itu mudah, memahami itu sulit. Namun di balik kesulitan itu, kita menemukan nilai kemanusiaan yang sesungguhnya. Empati bukan sekadar sikap, tetapi keputusan sadar untuk tidak menambah luka sosial yang sudah ada.
Mari berhenti menebar prasangka, dan mulai mengulurkan pengertian. Karena dunia ini tidak kekurangan hakim, tapi sangat membutuhkan lebih banyak pendengar.
"Love is the only sane and satisfactory answer to the problem of human existence." — Erich Fromm.