Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pejabat Publik, Bijaklah Menyuarakan Pikiran di Ruang Publik

22 Agustus 2025   19:04 Diperbarui: 22 Agustus 2025   19:04 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pejabat Publik, Bijaklah Menyuarakan Pikiran di Ruang Publik

“Ucapan yang bijak dari pejabat publik adalah fondasi kepercayaan dan harmoni sosial.”

Oleh Karnita

Pendahuluan

Suasana ruang publik kembali ramai pada Kamis, 21 Agustus 2025, setelah pemberitaan Kompas.com menyoroti pernyataan anggota DPR sekaligus artis, Nafa Urbach, mengenai tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan. Judul berita “Komentari Tunjangan Rumah Anggota DPR: Nafa Urbach Diserbu Warganet” segera memantik diskusi panjang di jagat maya. Fenomena ini memperlihatkan betapa kata-kata pejabat publik bukan sekadar opini, melainkan cermin kepekaan terhadap realitas sosial.

Urgensi peristiwa ini terasa kuat karena terjadi di tengah tantangan ekonomi masyarakat yang masih berjuang dengan biaya hidup tinggi. Alih-alih menghadirkan empati, komentar tentang tunjangan besar justru dipersepsikan sebagai ketidakpekaan. Di era keterbukaan informasi, setiap narasi pejabat akan diuji oleh publik, baik dalam ranah moral maupun politik.

Sebagai penulis, saya tertarik mengulasnya karena kasus ini memperlihatkan benturan antara realitas rakyat dan privilese pejabat. Relevansinya nyata: publik menginginkan pejabat yang hadir dengan sikap sederhana dan tutur kata bijak. Di sinilah peran komunikasi politik diuji, apakah ia menjadi jembatan kepercayaan atau sebaliknya memperlebar jarak antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakili.

1. Kata-Kata Pejabat adalah Cermin Kepekaan

Pernyataan Nafa Urbach tentang tunjangan rumah DPR menunjukkan betapa rapuhnya batas antara pembelaan kebijakan dan kesan arogan. Publik yang sehari-hari berjuang membayar kontrakan tentu merasa terusik dengan justifikasi tunjangan puluhan juta. Kritik keras warganet bukan sekadar reaksi emosional, melainkan refleksi keresahan struktural tentang kesenjangan sosial.

Kata-kata pejabat publik sejatinya bukan sekadar suara individu, melainkan simbol dari lembaga yang diwakilinya. Setiap komentar yang keluar akan dibaca dalam konteks keadilan sosial, bukan dalam ruang personal. Karena itu, pejabat harus mengukur dampak ucapannya, bukan hanya kebenaran logis, tetapi juga rasa keadilan publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun