Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Warga Bandung Waspadalah, Kemarau Basah Bawa Ancaman Penyakit!

22 Agustus 2025   20:43 Diperbarui: 22 Agustus 2025   20:43 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Warga Bandung Waspadalah, Kemarau Basah Bawa Ancaman Penyakit!

"Kesehatan publik bukan sekadar persoalan medis, melainkan cermin kepedulian bersama terhadap lingkungan."

Oleh Karnita

Pendahuluan

Langit Bandung pada awal Agustus 2025, terlihat muram meski kalender masih mencatat musim kemarau. TribunJabar.id memberitakan fenomena kemarau basah yang justru membawa ancaman penyakit bagi masyarakat. Situasi ini menegaskan bahwa musim tidak lagi bisa ditebak hanya dengan kalender, melainkan harus dibaca dengan kesadaran ekologi.

Dinas Kesehatan Kota Bandung menyoroti peningkatan kasus diare, demam berdarah dengue (DBD), dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Data yang disampaikan menunjukkan urgensi persoalan ini, mengingat genangan air dan kelembapan yang tinggi menjadi faktor pemicu. Relevansinya sangat nyata, karena kesehatan masyarakat adalah pondasi ketahanan sosial.

Penulis tertarik mengulas tema ini karena menyentuh aspek krusial: kesiapan publik menghadapi perubahan iklim mikro di perkotaan. Bukan sekadar penyakit musiman, melainkan juga refleksi atas perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Oleh karena itu, artikel ini mencoba menghadirkan kritik, pesan, sekaligus refleksi yang dapat menjadi pegangan warga kota.

1. Fenomena Kemarau Basah dan Dampaknya

Kemarau basah bukan sekadar istilah meteorologi, melainkan realitas baru yang dirasakan warga kota. Curah hujan yang masih tinggi di musim kemarau menciptakan lingkungan lembap. Kondisi ini mempercepat pertumbuhan mikroba dan populasi nyamuk Aedes aegypti.

Peningkatan kasus penyakit terbukti nyata, seperti dilaporkan Dinas Kesehatan Kota Bandung. Rata-rata 126 kasus diare per hari, 12 kasus DBD, dan lebih dari seribu kasus ISPA dalam sebulan, bukan sekadar angka statistik. Data ini mengingatkan bahwa kesehatan publik bisa rapuh bila tak ada intervensi serius.

Fenomena ini sekaligus menguji ketahanan masyarakat kota terhadap perubahan iklim dan pola cuaca ekstrem. Infrastruktur drainase, pola konsumsi, hingga perilaku sanitasi rumah tangga perlu diperiksa kembali. Sebab, penyakit tidak hanya lahir dari kuman, tetapi juga dari ketidakpedulian.

2. Diare, Penyakit yang Sering Diremehkan

Diare masih dianggap penyakit ringan oleh sebagian besar masyarakat. Padahal, Dinas Kesehatan mencatat ratusan kasus per hari di Bandung, dengan risiko dehidrasi fatal terutama pada anak-anak. Permasalahan utama seringkali terletak pada kebersihan makanan dan air.

Kritiknya, kesadaran publik akan higienitas masih rendah. Cuci tangan sebelum makan, menjaga kebersihan peralatan, dan menghindari jajanan sembarangan seringkali diabaikan. Padahal, edukasi sederhana ini bisa mencegah kasus besar di lapangan.

Refleksinya, diare adalah simbol lemahnya manajemen sanitasi perkotaan. Pemerintah sudah menyediakan fasilitas, tetapi tanpa partisipasi aktif masyarakat, siklus penyakit akan berulang. Maka, tanggung jawab harus dibagi secara kolektif.

3. DBD, Ancaman dari Genangan yang Sepele

DBD setiap tahun menjadi headline kesehatan di kota-kota besar, termasuk Bandung. Nyamuk berkembang biak di genangan air kecil yang kerap terabaikan: pot bunga, kaleng bekas, atau talang hujan. Dari hal sepele, lahir ancaman serius bagi kesehatan.

Program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) sesungguhnya sederhana: menguras, menutup, dan mengubur. Namun implementasinya sering setengah hati. Warga baru bertindak setelah ada korban di lingkungannya. Inilah titik lemah dalam budaya pencegahan.

Refleksi pentingnya adalah membangun disiplin sosial yang konsisten. Tidak cukup dengan imbauan, perlu gerakan kolektif yang diinternalisasi sebagai budaya kota. Jika Bandung ingin sehat, maka pola hidup warganya harus selaras dengan prinsip kebersihan lingkungan.

4. ISPA dan Daya Tahan Tubuh yang Rentan

ISPA menduduki peringkat tertinggi dalam laporan kasus kemarau basah. Penyakit ini menyerang pernapasan dan sering kali memperburuk kondisi warga dengan daya tahan tubuh rendah. Asap kendaraan, polusi udara, dan kelembapan menambah kerentanan.

Pesannya, kesehatan bukan hanya soal obat, melainkan gaya hidup. Olahraga, pola makan bergizi, dan istirahat cukup adalah benteng pertahanan tubuh. Namun, pola hidup perkotaan yang sibuk sering mengorbankan kebutuhan dasar ini.

Refleksinya, masyarakat harus kembali menempatkan kesehatan sebagai prioritas, bukan sekadar aktivitas sambilan. Tanpa tubuh yang sehat, produktivitas dan kualitas hidup akan menurun. ISPA mengingatkan bahwa daya tahan tubuh adalah aset paling penting di tengah perubahan iklim.

5. Peran Pemerintah dan Kesadaran Kolektif

Pemerintah telah mengeluarkan peringatan dan langkah antisipasi. Namun, efektivitas kebijakan tergantung pada keterlibatan masyarakat. Sehebat apapun program, tanpa dukungan publik, hasilnya akan minimal.

Kritiknya, komunikasi risiko kesehatan sering berhenti pada level formal. Informasi tidak selalu dikemas dengan bahasa yang mudah dicerna masyarakat. Padahal, literasi kesehatan harus diangkat ke ruang publik secara kreatif dan konsisten.

Refleksinya, kemarau basah adalah ujian kesadaran kolektif warga Bandung. Pemerintah, akademisi, media, dan masyarakat harus membentuk ekosistem pencegahan. Kesehatan kota adalah hasil dari sinergi, bukan kerja satu pihak saja.

Penutup

Fenomena kemarau basah di Bandung menunjukkan bahwa perubahan iklim mikro berdampak langsung pada kesehatan masyarakat. Diare, DBD, dan ISPA adalah contoh nyata bagaimana lingkungan dan gaya hidup bisa menjadi pemicu penyakit. Warga tidak boleh lengah, karena kesehatan bukan sekadar urusan pribadi, melainkan tanggung jawab sosial.

Seperti dikatakan seorang ahli kesehatan masyarakat, "Mencegah penyakit jauh lebih murah daripada mengobati." Pesan ini relevan bagi warga Bandung dan kota-kota lain di Indonesia. Dengan kesadaran kolektif, gaya hidup sehat, dan kebersamaan, ancaman penyakit akibat kemarau basah dapat ditekan seminimal mungkin. Wallahu a'lam. 

Disclaimer

Artikel ini merupakan opini dan analisis penulis berdasarkan pemberitaan TribunJabar.id. Bukan pernyataan resmi dari institusi pemerintah.

Daftar Pustaka

  1. TribunJabar.id. (2025, 5 Agustus). Kemarau Basah Bisa Picu Berbagai Penyakit, Dinkes Kota Bandung Minta Warga Lakukan Hal Ini. https://jabar.tribunnews.com/2025/08/05/kemarau-basah-bisa-picu-berbagai-penyakit-dinkes-kota-bandung-minta-warga-lakukan-hal-ini
  2. Kompas.com. (2025, Juli). Fenomena Kemarau Basah dan Dampaknya pada Kesehatan Publik. https://www.kompas.com
  3. Kementerian Kesehatan RI. (2024). Pedoman Pencegahan Penyakit Menular di Musim Pancaroba. https://www.kemkes.go.id
  4. WHO. (2023). Climate Change and Health Risks. https://www.who.int
  5. BMKG. (2025). Analisis Cuaca Ekstrem dan Fenomena Kemarau Basah. https://www.bmkg.go.id

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun