Pesannya, kesehatan bukan hanya soal obat, melainkan gaya hidup. Olahraga, pola makan bergizi, dan istirahat cukup adalah benteng pertahanan tubuh. Namun, pola hidup perkotaan yang sibuk sering mengorbankan kebutuhan dasar ini.
Refleksinya, masyarakat harus kembali menempatkan kesehatan sebagai prioritas, bukan sekadar aktivitas sambilan. Tanpa tubuh yang sehat, produktivitas dan kualitas hidup akan menurun. ISPA mengingatkan bahwa daya tahan tubuh adalah aset paling penting di tengah perubahan iklim.
5. Peran Pemerintah dan Kesadaran Kolektif
Pemerintah telah mengeluarkan peringatan dan langkah antisipasi. Namun, efektivitas kebijakan tergantung pada keterlibatan masyarakat. Sehebat apapun program, tanpa dukungan publik, hasilnya akan minimal.
Kritiknya, komunikasi risiko kesehatan sering berhenti pada level formal. Informasi tidak selalu dikemas dengan bahasa yang mudah dicerna masyarakat. Padahal, literasi kesehatan harus diangkat ke ruang publik secara kreatif dan konsisten.
Refleksinya, kemarau basah adalah ujian kesadaran kolektif warga Bandung. Pemerintah, akademisi, media, dan masyarakat harus membentuk ekosistem pencegahan. Kesehatan kota adalah hasil dari sinergi, bukan kerja satu pihak saja.
Penutup
Fenomena kemarau basah di Bandung menunjukkan bahwa perubahan iklim mikro berdampak langsung pada kesehatan masyarakat. Diare, DBD, dan ISPA adalah contoh nyata bagaimana lingkungan dan gaya hidup bisa menjadi pemicu penyakit. Warga tidak boleh lengah, karena kesehatan bukan sekadar urusan pribadi, melainkan tanggung jawab sosial.
Seperti dikatakan seorang ahli kesehatan masyarakat, "Mencegah penyakit jauh lebih murah daripada mengobati." Pesan ini relevan bagi warga Bandung dan kota-kota lain di Indonesia. Dengan kesadaran kolektif, gaya hidup sehat, dan kebersamaan, ancaman penyakit akibat kemarau basah dapat ditekan seminimal mungkin. Wallahu a'lam.Â
Disclaimer
Artikel ini merupakan opini dan analisis penulis berdasarkan pemberitaan TribunJabar.id. Bukan pernyataan resmi dari institusi pemerintah.