Antara Cepat dan Lambat: Menemukan Ritme Makan yang Sehat
"Makan bukan sekadar mengisi perut, tetapi merawat tubuh dan jiwa."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Di meja makan sebuah kafe pada sore 13 Agustus 2025, berita berjudul "Makan Terlalu Cepat atau Terlalu Lambat? Begini Dampaknya pada Tubuh Anda" yang dimuat Pikiran Rakyat menarik perhatian saya. Laporan tersebut mengulas kebiasaan makan cepat dan lambat, beserta implikasinya terhadap kesehatan fisik. Fenomena ini terasa dekat, sebab pola makan sering kali menjadi cerminan gaya hidup modern yang padat.
Urgensinya jelas: kebiasaan makan kini bukan hanya soal sopan santun, tetapi juga kesehatan jangka panjang. Seiring meningkatnya kasus obesitas, GERD, dan gangguan pencernaan, memahami ritme makan menjadi bagian dari strategi hidup sehat. Artikel tersebut mengajak pembaca untuk lebih peka pada kecepatan makan mereka.
Ketertarikan saya muncul karena kebiasaan makan sering kali luput dari perhatian, padahal dampaknya dapat mengubah kualitas hidup. Relevansinya terasa kuat, terlebih di tengah tren fast living yang menuntut segala sesuatu serba cepat. Mengulas ini berarti mengajak pembaca untuk tidak hanya mengatur apa yang dimakan, tetapi juga bagaimana cara memakannya.
1. Definisi dan Persepsi tentang Cepat dan Lambat
Dalam penjelasan Dr. Jessica Beh, makan lambat berarti memerlukan waktu lebih dari 30 menit untuk satu sesi makan. Sebaliknya, makan cepat hanya memakan waktu kurang dari 20 menit, bahkan kadang selesai dalam hitungan menit. Perbedaan ini tampak sederhana, tetapi memiliki efek signifikan bagi metabolisme tubuh.
Budaya dan kebiasaan turut memengaruhi persepsi kita terhadap waktu makan. Di sebagian masyarakat Asia, makan pelan dianggap bentuk penghargaan terhadap makanan. Sementara di dunia kerja modern, makan cepat kerap dilihat sebagai efisiensi. Perbedaan nilai ini membuat standar “normal” dalam kecepatan makan menjadi relatif.