Program Jemput Gabah Mengakhiri Dominasi Tengkulak
"Kedaulatan pangan bukan sekadar urusan perut, tetapi tentang kehormatan bangsa yang berdiri di atas tanahnya sendiri."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Di bawah langit biru Desa Panawuan, Kecamatan Cigandamekar, Kabupaten Kuningan, Sabtu (9/8/2025), aroma padi kering bercampur angin siang menyambut Tim Jemput Gabah Perum Bulog Cabang Cirebon. Laporan ANTARA berjudul “Menjemput panen, meruntuhkan kuasa tengkulak dan kesejahteraan petani” memotret kerja kolektif negara dan petani melawan jeratan harga tak adil, sebuah gerakan sosial-ekonomi yang menyentuh inti kedaulatan pangan.
Isu ini kian relevan di tengah fluktuasi harga beras dan ancaman inflasi pangan. Intervensi langsung negara menjadi kunci stabilisasi pasar dan perlindungan petani. Harga beli Rp6.500 per kilogram yang ditetapkan Bulog bukan sekadar angka, tetapi tanda keberpihakan negara kepada produsen pangan, memutus kendali tengkulak atas nasib petani.
Kisah ini menarik karena memuat dimensi kemanusiaan, kebijakan, dan perlawanan terhadap struktur ekonomi timpang. Menjemput gabah bukan hanya urusan logistik, tetapi praktik politik pangan. Dalam konteks kedaulatan pangan dan keberlanjutan desa, inisiatif ini layak menjadi model nasional.
1. Negara Menyapa Sawah
Sejak Januari 2025, Program Tim Jemput Gabah Perum Bulog mengubah paradigma: negara tidak lagi menunggu, melainkan mendatangi petani di sawah. Kebijakan ini meruntuhkan jarak pusat–desa, memberi kepastian harga, dan menegaskan kehadiran negara yang nyata dalam melindungi produsen pangan.
Kehadiran tim di lapangan mempersempit ruang gerak tengkulak yang selama ini menekan harga. Dengan patokan Rp6.500/kg, negara mengirim pesan bahwa produksi pangan adalah aset strategis yang tak boleh dikorbankan demi keuntungan segelintir pihak.