Kisah Sudaryo, petani yang bisa menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi dari hasil padi, adalah bukti nyata bahwa pertanian layak dan menguntungkan jika dikelola dengan benar. Harga yang adil memberi petani ruang untuk merencanakan masa depan, bukan sekadar bertahan hidup.
Selama ini, narasi petani sering diposisikan sebagai objek bantuan, bukan subjek pembangunan. Program jemput gabah membalikkan logika ini. Petani menjadi aktor utama yang menentukan kualitas, volume, dan waktu panen, sementara negara berperan sebagai mitra strategis.
Namun, pemberdayaan petani tidak berhenti pada harga. Akses terhadap teknologi, informasi pasar, dan pendidikan pertanian modern perlu diperluas agar produktivitas meningkat. Tanpa itu, keberlanjutan program akan terhambat oleh faktor struktural.
Pesan pentingnya adalah: kedaulatan pangan hanya tercapai jika petani berdaulat atas lahannya, hasilnya, dan masa depannya.
5. Peran Babinsa: Dari Pertahanan ke Pangan
Keterlibatan Babinsa seperti Serka Tri Purnomo menambah dimensi unik program ini. Dari tugas menjaga pertahanan wilayah, Babinsa kini menjadi penjaga rantai pasok pangan di tingkat desa. Peran ini memperkuat jaminan keamanan panen sekaligus membangun kepercayaan petani terhadap negara.
Setiap harinya, Babinsa menjadi penghubung informasi antara Bulog dan petani. Kehadirannya di sawah bukan hanya simbol keamanan, tetapi juga simbol keseriusan negara dalam melindungi pangan. Bahkan, dalam situasi penjemputan hingga larut malam, Babinsa memastikan tidak ada risiko kehilangan hasil panen.
Kritiknya, peran ganda ini memerlukan pelatihan tambahan bagi aparat desa agar mereka memahami aspek teknis dan sosial dari rantai pasok pangan. Tanpa itu, peran Babinsa berpotensi membebani fungsi utamanya di bidang pertahanan.
Refleksi terakhir dari subbab ini adalah bahwa keamanan pangan adalah bagian tak terpisahkan dari keamanan nasional. Negara yang ingin kuat harus memastikan petaninya sejahtera dan hasilnya aman.
Penutup