"Merunduk, Mengangkat Martabat", Saat Maaf Menjadi Pemimpin
"Kerendahan hati tak merendahkan derajat, justru meninggikannya di mata mereka yang dilayani."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Minggu, 3 Agustus 2025, di ruang konferensi pers sederhana, Didiek Hartantyo, Dirut PT KAI, menunduk dalam-dalam. Gestur itu menjadi wujud tanggung jawab atas anjloknya Kereta Argo Bromo Anggrek di Subang, 1 Agustus 2025. Momen langka seperti ini jarang terlihat di panggung transportasi Indonesia, apalagi di tengah maraknya keluhan layanan publik yang jarang direspons langsung oleh pucuk pimpinan.
Insiden itu membatalkan 80 perjalanan, mengalihkan 42 rute, dan memaksa ribuan penumpang mengubah rencana. Namun, sikap membungkuk Didiek justru menarik hormat sekaligus rasa penasaran publik. Di tengah birokrasi yang kaku, gestur ini memberi pesan: kepemimpinan sejati berani merendah di hadapan kesalahan.
Kisah ini menjadi pelajaran bagi budaya korporasi dan kepemimpinan nasional. Masyarakat butuh teladan nyata dalam krisis. Membungkuk ala Jepang ini bukan sekadar sopan santun, tapi cermin keberanian memulihkan kepercayaan publik.
1. Gestur yang Berbicara Lebih Keras dari Kata-Kata
Gestur membungkuk dalam budaya Jepang melambangkan penghormatan, penyesalan, dan tekad memperbaiki keadaan. Dalam insiden KAI, Didiek memilih menyampaikan maaf bukan hanya lewat kata-kata, tetapi lewat bahasa tubuh yang kuat. Publik melihatnya bukan sekadar sebagai direktur yang berpidato, melainkan pemimpin yang menundukkan ego di hadapan rakyat.
Di Indonesia, gestur seperti ini jarang ditemui, terutama di sektor transportasi yang akrab dengan isu keterlambatan dan kecelakaan. Umumnya, permintaan maaf hadir lewat rilis resmi yang kaku. Perbedaan ini membuat langkah Didiek menonjol sekaligus memantik diskusi tentang pentingnya empati visual dalam komunikasi krisis.
Namun, gestur tak cukup bila tanpa langkah nyata membenahi akar masalah. Jika tidak, publik akan menganggapnya sekadar sopan santun tanpa makna. Ketulusan baru terasa saat simbol diiringi aksi konkret—perpaduan yang menjadi modal penting dalam memulihkan kepercayaan publik.
2. Manajemen Krisis: Dari Perencanaan hingga Aksi Cepat
Menurut laporan, KAI langsung mengerahkan 200 personel teknis, termasuk jajaran direksi, ke lokasi sejak hari pertama insiden. Hanya dalam dua hari, jalur yang sempat terputus kembali bisa dilalui. Langkah cepat ini mencerminkan penerapan siklus manajemen krisis: perencanaan, pelaksanaan, kontrol, aksi, lalu evaluasi.
Di banyak kasus di Indonesia, respons pasca-krisis seringkali lambat dan tidak terkoordinasi, memicu frustrasi publik. Tindakan cepat KAI patut dicatat sebagai praktik baik. Ketika kecepatan perbaikan dikombinasikan dengan keterbukaan informasi, kepercayaan publik lebih mudah dipulihkan.
Namun, manajemen krisis bukan hanya tentang pemulihan fisik infrastruktur, tetapi juga pemulihan psikologis pengguna layanan. Penumpang yang terdampak perlu merasa bahwa perusahaan benar-benar memahami kesulitan mereka, dan komunikasi terbuka adalah kunci.
Refleksi pentingnya, krisis adalah ujian sejati dari tata kelola. Pemimpin yang turun langsung, bukan sekadar memberi instruksi dari balik meja, akan meninggalkan jejak positif di ingatan publik.
3. Belajar dari Disiplin Jepang
Kisah masinis Jepang yang meminta maaf karena keterlambatan 35 detik atau operator Shinkansen yang menyesal berangkat 20 detik lebih cepat mungkin terdengar ekstrem bagi sebagian orang. Namun, di situlah letak kekuatan budaya disiplin mereka: rasa hormat terhadap waktu dan pelanggan begitu dalam tertanam.
Di Indonesia, keterlambatan sering dianggap lumrah, baik di transportasi publik maupun pelayanan umum. Hal ini menciptakan budaya permisif yang pada akhirnya merugikan pengguna. Membawa sedikit disiplin ala Jepang ke dalam budaya kerja kita bukanlah mimpi, tetapi butuh komitmen lintas sektor.
Mengadopsi nilai ini tidak berarti meniru secara kaku, melainkan menyesuaikannya dengan konteks lokal. Yang penting adalah konsistensi dalam menepati janji kepada pengguna layanan.
Refleksi dari poin ini adalah bahwa standar tinggi dalam pelayanan publik akan membentuk ekspektasi baru di masyarakat, dan ekspektasi itu akan memicu perbaikan berkelanjutan.
4. Transparansi sebagai Pilar Kepercayaan
Dalam kasus ini, KAI memilih untuk terbuka mengenai penyebab gangguan perjalanan, dampak, dan langkah perbaikannya. Transparansi ini menjadi kunci meredam kemarahan publik. Dibandingkan dengan institusi lain yang memilih diam atau defensif, KAI menunjukkan bahwa kejujuran lebih efektif daripada pencitraan kosong.
Transparansi tidak hanya berarti menyampaikan kabar baik, tetapi juga kabar buruk dengan cara yang terhormat. Publik mampu memahami bahwa insiden bisa terjadi, tetapi mereka sulit menerima jika informasi ditutup-tutupi.
Namun, transparansi juga harus diikuti oleh akuntabilitas. Mengumumkan penyebab insiden tanpa tindak lanjut hanya akan memunculkan skeptisisme. Oleh karena itu, penting ada laporan evaluasi yang dapat diakses publik.
Refleksinya, kepercayaan publik adalah mata uang yang mahal. Ia hanya bisa didapat lewat keterbukaan dan kesediaan memperbaiki kesalahan secara berkelanjutan.
5. Mengubah Krisis Menjadi Modal Reputasi
Ironisnya, insiden yang berpotensi merusak reputasi KAI justru menjadi peluang membangun citra positif berkat respons yang tepat. Tindakan cepat, komunikasi terbuka, dan gestur membungkuk semuanya membentuk narasi bahwa perusahaan ini peduli dan bertanggung jawab.
Banyak organisasi terjebak dalam paradigma defensif saat menghadapi krisis. Mereka takut mengakui kesalahan karena khawatir citra akan hancur. Padahal, publik lebih menghargai kejujuran dibanding kesempurnaan semu.
Mengubah krisis menjadi modal reputasi membutuhkan keberanian untuk memimpin di garis depan dan kerendahan hati untuk mengakui kekurangan. Kombinasi ini yang jarang dimiliki banyak pimpinan.
Refleksi dari kasus ini, krisis bukan akhir dari cerita, tetapi bisa menjadi bab penting dalam membangun narasi kepemimpinan yang humanis dan profesional.
Â
Sikap membungkuk ala Jepang yang dilakukan Didiek Hartantyo bukan sekadar gestur sopan, melainkan pesan kuat tentang tanggung jawab dan penghormatan kepada publik. Ia menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati adalah keberanian menundukkan ego di hadapan kesalahan, dan keteguhan untuk memperbaiki keadaan.
Seperti dikatakan John C. Maxwell, "A leader is one who knows the way, goes the way, and shows the way." Dalam momen itu, Didiek bukan hanya menunjukkan jalan perbaikan, tetapi juga meneladani sikap rendah hati yang jarang kita temui di panggung publik. Semoga budaya ini menular, dari ruang rapat BUMN hingga meja kerja pejabat publik di seluruh negeri. Wallahu a'lam.Â
Disclaimer: Artikel ini merupakan opini penulis yang disusun berdasarkan pemberitaan Pikiran Rakyat dan sumber relevan lainnya, dengan tujuan edukasi dan refleksi publik.
Daftar Pustaka:
Roebing Gunawan Budhi. (2025, 6 Agustus). Permintaan Maaf Dirut KAI Membungkukkan Badan Ala Jepang. Pikiran Rakyat. https://www.pikiran-rakyat.com/kolom/pr-019552626/permintaan-maaf-dirut-kai-membungkukkan-badan-ala-jepang?page=all
Ministry of Land, Infrastructure, Transport and Tourism Japan. (2018). Train Operation Standards and Passenger Service Guidelines. https://www.mlit.go.jp
Komite Nasional Keselamatan Transportasi. (2023). Laporan Investigasi Kecelakaan Kereta Api. https://knkt.go.id
Maxwell, J.C. (2007). The 21 Irrefutable Laws of Leadership. Thomas Nelson.
The Japan Times. (2017, November 16). Shinkansen operator apologizes for train leaving 20 seconds early. https://www.japantimes.co.jp
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI