Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Merunduk, Mengangkat Martabat", Saat Maaf Menjadi Pemimpin

9 Agustus 2025   21:02 Diperbarui: 9 Agustus 2025   21:02 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Evakuasi rangkaian kereta api Argo Bromo Anggrek di Subang (dok.  Antara/Abdan Syakura )

2. Manajemen Krisis: Dari Perencanaan hingga Aksi Cepat

Menurut laporan, KAI langsung mengerahkan 200 personel teknis, termasuk jajaran direksi, ke lokasi sejak hari pertama insiden. Hanya dalam dua hari, jalur yang sempat terputus kembali bisa dilalui. Langkah cepat ini mencerminkan penerapan siklus manajemen krisis: perencanaan, pelaksanaan, kontrol, aksi, lalu evaluasi.

Di banyak kasus di Indonesia, respons pasca-krisis seringkali lambat dan tidak terkoordinasi, memicu frustrasi publik. Tindakan cepat KAI patut dicatat sebagai praktik baik. Ketika kecepatan perbaikan dikombinasikan dengan keterbukaan informasi, kepercayaan publik lebih mudah dipulihkan.

Namun, manajemen krisis bukan hanya tentang pemulihan fisik infrastruktur, tetapi juga pemulihan psikologis pengguna layanan. Penumpang yang terdampak perlu merasa bahwa perusahaan benar-benar memahami kesulitan mereka, dan komunikasi terbuka adalah kunci.

Refleksi pentingnya, krisis adalah ujian sejati dari tata kelola. Pemimpin yang turun langsung, bukan sekadar memberi instruksi dari balik meja, akan meninggalkan jejak positif di ingatan publik.

3. Belajar dari Disiplin Jepang

Detik-detik Kereta Api Argo Bromo Anjlok di Subang, Ini Kronologinya! (Foto: Istimewa/haijakarta.id) 
Detik-detik Kereta Api Argo Bromo Anjlok di Subang, Ini Kronologinya! (Foto: Istimewa/haijakarta.id) 

Kisah masinis Jepang yang meminta maaf karena keterlambatan 35 detik atau operator Shinkansen yang menyesal berangkat 20 detik lebih cepat mungkin terdengar ekstrem bagi sebagian orang. Namun, di situlah letak kekuatan budaya disiplin mereka: rasa hormat terhadap waktu dan pelanggan begitu dalam tertanam.

Di Indonesia, keterlambatan sering dianggap lumrah, baik di transportasi publik maupun pelayanan umum. Hal ini menciptakan budaya permisif yang pada akhirnya merugikan pengguna. Membawa sedikit disiplin ala Jepang ke dalam budaya kerja kita bukanlah mimpi, tetapi butuh komitmen lintas sektor.

Mengadopsi nilai ini tidak berarti meniru secara kaku, melainkan menyesuaikannya dengan konteks lokal. Yang penting adalah konsistensi dalam menepati janji kepada pengguna layanan.

Refleksi dari poin ini adalah bahwa standar tinggi dalam pelayanan publik akan membentuk ekspektasi baru di masyarakat, dan ekspektasi itu akan memicu perbaikan berkelanjutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun