Kasih Sayang Tak Bercerai, Â Menuntun Emosi Anak di Tengah Perpisahan
"Anak Tidak Butuh Rumah yang Utuh, Tetapi Hati Orangtua yang Penuh"
Oleh Karnita
Pendahuluan
Suara hujan sore hari pada 19 April 2025 mengiringi berita yang dirilis Kompas.com berjudul "5 Cara Menghadapi Emosi Anak agar Tak Trauma Setelah Perceraian Orangtua". Laporan ini menyoroti betapa rapuhnya hati seorang anak saat menyaksikan perpisahan orangtuanya. Di balik suasana rumah yang berubah, ada riak-riak perasaan yang tak terlihat, namun terasa begitu nyata.
Pemberitaan tersebut menjadi relevan di tengah meningkatnya angka perceraian yang tak hanya memengaruhi pasangan, tetapi juga anak-anak yang terjebak di pusaran emosinya. Banyak keluarga masih belum memahami pentingnya pengelolaan emosi anak secara benar setelah perceraian. Oleh karena itu, informasi ini hadir sebagai pengingat bahwa kasih sayang seharusnya tak ikut berpisah.
Penulis tertarik mengangkat tema ini karena perceraian bukan hanya peristiwa hukum atau sosial, melainkan peristiwa emosional yang panjang efeknya. Dalam konteks saat ini, ketika tantangan psikologis anak semakin kompleks, pembahasan ini menjadi pintu masuk untuk membicarakan bagaimana peran orangtua dapat memutus rantai trauma.
1. Menjadi Ruang Aman bagi Emosi Anak
Perceraian adalah badai yang mengguncang fondasi emosional anak, membuat mereka mencari jangkar yang aman. Dalam situasi ini, orangtua memiliki tanggung jawab untuk menjadi tempat berlindung, meski diri sendiri sedang dilanda luka. Ketika anak merasakan keamanan untuk mengungkapkan perasaannya, proses pemulihan dapat dimulai.
Psikolog Klinis Maria Fionna Callista menekankan pentingnya keterbukaan orangtua terhadap emosi anak. Walaupun konflik pribadi masih membara, mendengar tanpa menghakimi menjadi bentuk dukungan yang tak ternilai. Empati bukan sekadar memahami, tetapi juga merasakan dari sudut pandang anak.