Kritik akan muncul dari industri wisata yang khawatir bahwa aturan ini mengurangi jumlah pengunjung. Akan tetapi, pariwisata yang berkelanjutan selalu menempatkan keselamatan di atas jumlah kunjungan. SOP ini membuktikan bahwa keselamatan adalah investasi reputasi jangka panjang.
Refleksi pada insiden Juliana—terjatuh saat sendirian dan baru ditemukan beberapa hari kemudian—menegaskan bahwa pengalaman, pendampingan, dan kesiapsiagaan adalah kunci untuk menghindari tragedi serupa.
4. Pendampingan, Safety Briefing, dan Etika di Gunung
SOP baru mewajibkan safety briefing sebelum pendakian, sebuah langkah sederhana namun krusial. Briefing memberikan informasi teknis, jalur aman, cuaca terkini, dan prosedur darurat. Dalam banyak kasus, kecelakaan terjadi bukan karena medan, tetapi karena kurangnya informasi.
Pendampingan untuk pendaki pemula juga menjadi sorotan. Guide berperan sebagai navigator, motivator, sekaligus pengawas etika pendakian. Mereka membantu memastikan kelompok menjaga kebersihan, tidak merusak flora dan fauna, dan menghormati sesama pendaki.
Etika pendakian kini juga ditegaskan dengan larangan membawa alat musik dan speaker aktif. Ini adalah upaya menjaga keheningan alam yang menjadi daya tarik utama Rinjani. Gunung bukan ruang pesta, melainkan tempat kontemplasi.
Refleksi dari aturan ini adalah kesadaran bahwa keselamatan dan kenyamanan tidak hanya soal fisik, tetapi juga tentang menjaga harmoni antara manusia dan alam.
5. Pengelolaan Kuota dan Jadwal: Menjaga Keseimbangan Ekosistem
Pembatasan jumlah pendaki, rasio guide, dan porter adalah langkah untuk melindungi jalur pendakian dan kawasan konservasi. Dengan beban maksimal yang diatur, tenaga kerja di lapangan juga terlindungi dari eksploitasi.
Perubahan jadwal pendakian kini harus dilaporkan resmi, mencegah praktik “masuk diam-diam” yang berisiko bagi keselamatan dan data pengelolaan. Ketertiban ini juga membantu memantau distribusi pengunjung di berbagai jalur.