Menyimak Perang dan Kemanusiaan dalam 'Laki-Laki dan Mesiu'
"Cerpen-cerpen ini bukan sekadar kisah tentang letusan mesiu, melainkan nyanyian sunyi tentang harga sebuah kemanusiaan."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Debu menari di tengah medan yang lengang. Matahari memanggang tanah, sementara tubuh-tubuh terluka diseret ke balik semak. Dalam cerpen "Tinggul", suasana mencekam itu dibuka dengan sebuah keputusan sepihak: nyawa manusia ditentukan hanya dengan tanda silang merah. Trisnoyuwono tak sedang menciptakan dunia fiksi, melainkan menghidupkan kembali lorong-lorong ingatan sejarah yang ia lewati sendiri. Kumpulan cerpen Laki-Laki dan Mesiu bukan sekadar dokumen sastra, melainkan catatan hidup dari seseorang yang berada di tengah revolusi.
Buku ini pertama kali terbit pada 1957 dan meraih hadiah sastra nasional dari BMKN tahun 1957–1958. Dalam suasana peringatan HUT Kemerdekaan RI, kehadiran kembali antologi ini menjadi sangat relevan. Kemerdekaan bukan hanya milik angka dan seremoni, tetapi juga milik ingatan dan luka yang membentuknya. Karena itu, karya ini patut dibaca ulang sebagai bagian dari kontemplasi bangsa terhadap nilai-nilai perjuangan dan kemanusiaan.
Ketertarikan penulis terhadap Laki-Laki dan Mesiu lahir dari konteks sejarah dan pengalaman pribadi Trisnoyuwono yang menjelma menjadi narasi fiksi penuh refleksi. Ia menolak menjadikan perang sebagai panggung heroisme tunggal. Sebaliknya, ia menghadirkan manusia—dengan ketakutan, keraguan, kesalahan, dan cinta—dalam berbagai peristiwa revolusi. Di tengah maraknya glorifikasi sejarah yang steril, karya ini menampilkan sisi rapuh dari perjuangan. Inilah yang menjadikannya penting dan mendesak dibaca hari ini.
Sinopsis
Antologi Laki-Laki dan Mesiu memuat sepuluh cerita pendek dengan latar suasana revolusi fisik dan psikologis bangsa Indonesia pascakemerdekaan. Cerita-cerita ini bukan semata kisah kepahlawanan, melainkan jendela reflektif tentang manusia dan kekuasaan dalam kondisi ekstrem. Tokoh-tokoh dalam cerita bukanlah pahlawan sempurna, tetapi manusia biasa yang terlempar ke dalam kekerasan sejarah.
Cerpen pembuka "Tinggul" mengisahkan keputusan sewenang-wenang seorang Kapten terhadap seorang tahanan bernama Tinggul. Dalam suasana komando yang otoriter dan tak transparan, nasib manusia dapat diputuskan oleh satu suara. Trisnoyuwono menggambarkan dilema batin para saksi—antara loyalitas terhadap atasan dan kemanusiaan terhadap sesama.