Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Kekuasaan Lebih Berharga dari Perdamaian

6 Agustus 2025   16:02 Diperbarui: 6 Agustus 2025   16:02 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika Kekuasaan Lebih Berharga dari Perdamaian

"Jika kekuasaan lebih dipertahankan daripada kemanusiaan, maka perang bukan lagi alat, melainkan tujuan itu sendiri."

Oleh Karnita

Pendahuluan

Asap menggantung di langit Gaza. Pada Selasa, 29 Juli 2025, bangunan-bangunan runtuh akibat bombardir Israel terlihat dalam foto yang disiarkan AP Photo/Jehad Alshrafi. Laporan tersebut dimuat di artikel Republika berjudul "Mengapa Netanyahu Tetap Memaksa Lanjutkan Perang Meski Ditentang Dunia Internasional?", tayang 6 Agustus 2025 di kanal Islam Digest.

Tulisan yang ditulis Redaktur Nashih Nashrullah ini memberikan narasi mendalam. Ia menguraikan kompleksitas politik internal Israel dan eskalasi kekerasan terhadap warga Gaza dengan penuh tanggung jawab. Penulis artikel ini layak diapresiasi karena mengangkat sisi kelumpuhan moral dan kemanusiaan di balik retorika perang.

Penulis tertarik karena tema ini bukan semata isu luar negeri, tetapi juga soal nurani global. Narasi yang digambarkan dalam artikel mengusik kesadaran tentang bagaimana kekuasaan bisa mengorbankan martabat manusia. Dalam dunia yang makin terpolarisasi, suara-suara seperti ini sangat penting untuk membangun solidaritas lintas bangsa.

1. Kekuasaan dan Ilusi Kemenangan

Netanyahu terus menggalang justifikasi agresi di Jalur Gaza. Ia membungkusnya dalam narasi pembebasan sandera dan keamanan nasional. Namun kenyataannya, kekuasaanlah yang lebih diutamakan ketimbang penyelesaian konflik.

Artikel Republika menunjukkan bahwa Netanyahu menolak semua opsi damai yang ditawarkan. Bahkan laporan intelijen Israel sendiri mengungkap keraguan dan keberatan militer terhadap pendudukan ulang Gaza. Hal ini menandakan bahwa keputusan melanjutkan perang bukan soal strategi, tapi kalkulasi politik pribadi.

Kritik dari mantan kepala operasi militer Yisrael Ziv memperkuat hal itu. Ia menyebut pemerintah tak berupaya mencapai tujuan perang, melainkan mempertahankan ilusi pada rakyat. Refleksi ini penting untuk menunjukkan bahwa perang kerap menjadi alat pelanggengan kuasa, bukan solusi.

2. Ketegangan Internal dan Manipulasi Politik

Konflik yang berlangsung juga menunjukkan betapa retaknya institusi Israel dari dalam. Ketidaksepakatan antara militer dan Netanyahu adalah indikasi krisis kepercayaan internal. Situasi ini diperparah oleh langkah Netanyahu mempolitisasi isu sandera.

Dalam laporan Saluran 14 Ibrani, bahkan Kepala Staf Eyal Zamir sempat mengancam mundur. Ia tidak setuju dengan opsi pendudukan ulang yang dipaksakan oleh Netanyahu. Hal ini menunjukkan bahwa perang dilanjutkan tanpa konsensus, bahkan di dalam lingkar kekuasaan sendiri.

Netanyahu seolah menyandera rakyatnya sendiri. Ia menolak kesepakatan demi mempertahankan wajah keras di hadapan oposisi dan dunia internasional. Artikel ini dengan tajam memotret bagaimana dilema sandera digunakan sebagai kartu tawar politik.

3. Amerika Serikat dan Normalisasi Kekerasan

Salah satu poin krusial dari artikel adalah sorotan pada peran Amerika Serikat. AS disebut bukan hanya sebagai sekutu strategis, tetapi juga pelindung kebijakan agresif Israel. Bahkan, veto AS terhadap penyelesaian damai memperkuat keyakinan Netanyahu untuk terus menyerang.

James Robbins dari Dewan Kebijakan Luar Negeri AS menyalahkan Hamas sebagai penghalang perdamaian. Narasi ini dijadikan legitimasi atas tindakan militer yang melanggar hak asasi. Pandangan ini berbahaya karena mereduksi tragedi menjadi masalah penyerahan senjata semata.

Ahmed al-Haila menggambarkan posisi AS sebagai penghancur hukum internasional. Aliansi ideologis dengan sayap kanan Israel memperkuat impunitas atas pelanggaran kemanusiaan. Refleksi ini penting karena menunjukkan bahwa kekerasan bisa dilanggengkan oleh sistem dan narasi yang tampak sah.

4. Genosida dan Keterlibatan Barat

Claudia Webb, mantan anggota parlemen Inggris, menyebut agresi di Gaza sebagai genosida terorganisasi. Bukan sekadar perang, tapi kejahatan sistematis dengan dukungan diam-diam dari negara-negara Barat. Ini adalah dakwaan moral yang harus diperhatikan dunia.

Demonstrasi besar di ibu kota Eropa dan Australia mencerminkan kebangkitan kesadaran publik. Mereka tidak hanya menentang perang, tapi juga sistem politik yang memfasilitasinya. Gerakan ini menjadi cermin bahwa tekanan rakyat dapat menembus kebuntuan diplomatik.

Namun, kebungkaman pemerintah masih mendominasi. Artikel ini menekankan bahwa kebisuan ini menyamakan diri dengan keterlibatan aktif. Refleksi ini sangat penting agar publik tidak terjebak dalam netralitas palsu yang membiarkan kekerasan terus berlangsung.

5. Penderitaan Sipil: Bahasa Tubuh Tawanan dan Anak Gaza

Bagian paling menyentuh dari artikel ini adalah narasi tentang video tayangan tawanan Israel dan anak-anak Gaza. Tubuh kurus, tatapan kosong, dan penderitaan yang disiarkan menggambarkan realitas yang tak dapat disangkal. Derita sipil ditampilkan dalam bahasa visual yang tidak bisa dibungkam.

Dalam video yang ditayangkan Al-Qassam, terlihat jelas bahwa penderitaan para tawanan dan warga sipil adalah sama. Mereka sama-sama menderita di bawah blokade, kelaparan, dan penindasan. Adegan ini menggambarkan bagaimana peperangan tidak mengenal belas kasihan.

Pesan "Mereka makan apa yang kami makan" menjadi tamparan bagi narasi kemanusiaan versi pemerintah Israel. Realitas ini menggugah siapa saja yang masih memiliki empati. Refleksi ini memperlihatkan bahwa tragedi Gaza bukan hanya soal politik, tapi luka kemanusiaan yang sangat dalam.

Penutup

Perang di Gaza bukan lagi soal membela diri atau mencapai tujuan strategis. Ia telah menjadi alat kekuasaan yang memperbudak nurani dan membunuh empati. Ketika dunia menutup mata, suara kebenaran menjadi sangat berharga.

"Jika kekuasaan menjadi alasan untuk menolak damai, maka dunia telah kehilangan arah dalam membaca arti kemanusiaan."
Penting bagi kita, sebagai bagian dari masyarakat global, untuk tidak tinggal diam. Karena diam adalah bentuk pengkhianatan terhadap rasa keadilan itu sendiri. Wallahu a’lam.

 

Disclaimer:

Tulisan ini disusun sebagai refleksi terhadap laporan media Republika dan sumber-sumber internasional terkait agresi Israel ke Jalur Gaza. Artikel ini bertujuan mendorong kesadaran kritis dan tidak bermaksud menyudutkan identitas ras atau kepercayaan tertentu.

Daftar Pustaka

Nashih Nashrullah. (2025). Mengapa Netanyahu Tetap Memaksa Lanjutkan Perang Meski Ditentang Dunia Internasional? Republika.co.id. https://www.republika.co.id/berita/s1rnc7382

Hasyim, M. (2024). Dinamika Konflik Israel-Palestina dalam Perspektif Hukum Internasional. Jakarta: Penerbit Komunitas Hukum.

Supriyanto, R. (2023). Tragedi Kemanusiaan di Gaza: Antara Realitas Politik dan Moral Global. Yogyakarta: Pustaka Marwah.

Al Jazeera. (2025). Gaza: Israel hostage video shows harrowing images. https://www.aljazeera.com/news/2025/8/2

ABC News. (2025). Israel eyes Gaza operation amid stalled negotiations. https://abcnews.go.com/International/story?id=10347230

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun