Ketika Kekuasaan Lebih Berharga dari Perdamaian
"Jika kekuasaan lebih dipertahankan daripada kemanusiaan, maka perang bukan lagi alat, melainkan tujuan itu sendiri."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Asap menggantung di langit Gaza. Pada Selasa, 29 Juli 2025, bangunan-bangunan runtuh akibat bombardir Israel terlihat dalam foto yang disiarkan AP Photo/Jehad Alshrafi. Laporan tersebut dimuat di artikel Republika berjudul "Mengapa Netanyahu Tetap Memaksa Lanjutkan Perang Meski Ditentang Dunia Internasional?", tayang 6 Agustus 2025 di kanal Islam Digest.
Tulisan yang ditulis Redaktur Nashih Nashrullah ini memberikan narasi mendalam. Ia menguraikan kompleksitas politik internal Israel dan eskalasi kekerasan terhadap warga Gaza dengan penuh tanggung jawab. Penulis artikel ini layak diapresiasi karena mengangkat sisi kelumpuhan moral dan kemanusiaan di balik retorika perang.
Penulis tertarik karena tema ini bukan semata isu luar negeri, tetapi juga soal nurani global. Narasi yang digambarkan dalam artikel mengusik kesadaran tentang bagaimana kekuasaan bisa mengorbankan martabat manusia. Dalam dunia yang makin terpolarisasi, suara-suara seperti ini sangat penting untuk membangun solidaritas lintas bangsa.
1. Kekuasaan dan Ilusi Kemenangan
Netanyahu terus menggalang justifikasi agresi di Jalur Gaza. Ia membungkusnya dalam narasi pembebasan sandera dan keamanan nasional. Namun kenyataannya, kekuasaanlah yang lebih diutamakan ketimbang penyelesaian konflik.
Artikel Republika menunjukkan bahwa Netanyahu menolak semua opsi damai yang ditawarkan. Bahkan laporan intelijen Israel sendiri mengungkap keraguan dan keberatan militer terhadap pendudukan ulang Gaza. Hal ini menandakan bahwa keputusan melanjutkan perang bukan soal strategi, tapi kalkulasi politik pribadi.