Berpikir Jernih di Tengah Kekuasaan yang Keruh: Warisan Intelektual Kwik Kian Gie
"Integritas berarti berani tak disukai demi kebenaran." – Kwik Kian Gie
Oleh Karnita
Pendahuluan
Berita duka itu datang pada malam yang hening, Senin, 28 Juli 2025 pukul 22.00 WIB. Indonesia kehilangan sosok langka: Kwik Kian Gie, ekonom, pendidik, dan negarawan berusia 90 tahun. Diberitakan DetikJatim (29/7/2025) dalam artikel bertajuk “Profil Kwik Kian Gie, Bapak Ekonomi Kerakyatan Indonesia”, wafatnya beliau bukan sekadar kehilangan seorang menteri atau mantan pejabat tinggi negara.
Dengan tubuh kurus, rambut perak tersisir rapi, dan suara lirih yang tak pernah meninggi, ia menyampaikan kritik tajam dengan logika jernih dan keberanian moral yang konsisten. Dalam setiap forum, tulisannya, maupun wawancara, Kwik tampil seperti suara hati rakyat yang menolak dibungkam banalitas kekuasaan. Warisan pemikirannya akan terus hidup, sebab ia lebih besar dari jabatan—ia adalah nurani publik yang berani bersuara.
Penulis terpikat untuk menelaah kembali warisan pemikiran Kwik setelah membaca artikel opini Irvan Maulana di Kompas (30/7/2025), berjudul “Kwik Kian Gie dan Logika yang Tak Pernah Naif”. Artikel itu bukan sekadar penghormatan, tetapi pengingat bahwa keberanian intelektual sangat langka dalam lanskap politik kita. Di tengah arus wacana yang kian pragmatis, keberanian untuk berpikir berbeda dan tetap rasional seperti yang diteladankan Kwik layak dikaji ulang.
Di saat negara kembali bergantung pada investasi asing dan kebijakan ekonomi yang elitis, relevansi pemikiran Kwik kian nyata. Ia menolak pendekatan ekonomi yang melulu berbicara soal pertumbuhan tanpa keadilan, efisiensi tanpa nurani. Tulisan ini bertujuan bukan hanya mengenang, tetapi menghidupkan kembali cara berpikir yang terancam hilang: berpikir jernih dalam gelombang kepentingan, dan berdiri untuk rakyat ketika kekuasaan mulai lupa arah.
1. Modernisasi Tanpa Akar: Kritik Kwik terhadap Simbolisme Pembangunan
Di masa Presiden Habibie, ketika bangsa terpukau pada lompatan teknologi—dari pesawat hingga mobil nasional—Kwik memilih untuk bertanya lebih dahulu daripada bertepuk tangan. Ia menggugat logika pembangunan yang lebih sibuk mempercantik etalase ketimbang membenahi fondasi. Bagi Kwik, pembangunan tidak sah jika tidak menyentuh kehidupan petani, nelayan, dan buruh.
Dalam kritiknya yang elegan namun tajam, Kwik menolak glorifikasi teknologi jika hanya dinikmati oleh segelintir elite. Ia percaya bahwa kemajuan tak berarti jika terjadi di atas penderitaan. Inilah pembeda utamanya: ia menginginkan modernisasi yang mengakar, bukan sekadar melesat. Kritik itu bukan bentuk anti-pembangunan, melainkan tuntutan etika terhadap keadilan sosial.