Bukan Sekadar Smash dan Dropshot: Ketika Mental Juara Harus Dicetak, Bukan Dicari
"Ketika Kemenangan Tak Lagi Sekadar Angka, Tapi Cermin dari Sistem yang Perlu Disembuhkan"
— Refleksi prestasi bulu tangkis Indonesia yang stagnan di tengah tuntutan pembenahan menyeluruh.
Oleh Karnita
Pendahuluan: Ketika Satu Semester Terlewat Tanpa Gelar
Riuh tepuk tangan yang dulu akrab di telinga penonton tampaknya belum kembali ke arena bulu tangkis Indonesia. Pada Senin pagi, 21 Juli 2025, Pikiran Rakyat merilis artikel bertajuk “Sudah Melewati Satu Semester, Bulu Tangkis Indonesia Masih Jauh dari Gelar”. Di tengah gairah olahraga Tanah Air yang kian dinamis, kabar ini menyadarkan kita bahwa prestasi bulu tangkis nasional, khususnya di kancah internasional, masih memerlukan bahan bakar lebih dari sekadar nama besar. Meskipun ada beberapa penampilan menjanjikan dari Putri KW, Lanny/Fadia, dan Fajar/Fikri yang menembus babak perempat final di Japan Open 2025, harapan publik akan podium tertinggi belum terpenuhi.
Penulis menaruh perhatian pada isu ini bukan karena sekadar cinta pada olahraga, tetapi karena bulu tangkis telah lama menjadi simbol kebanggaan nasional. Kemenangan demi kemenangan dari era Liem Swie King hingga Taufik Hidayat bukan hanya soal angka di papan skor, tetapi soal identitas dan harga diri bangsa. Ketika kini gelar mulai terasa asing, kita perlu merenung: apa yang sedang terjadi dalam tubuh bulu tangkis Indonesia?
Lebih dari sekadar hasil pertandingan, artikel ini mengajak kita menyelami lebih dalam soal pola pembinaan, mentalitas atlet, hingga kebijakan strategis PBSI dalam mengelola regenerasi dan beban ekspektasi. Sebab stagnasi prestasi tidak bisa dilihat sebagai nasib semata, tetapi harus dipandang sebagai tanda bahaya dari ekosistem yang mungkin sedang tidak sehat.
Kinerja yang Masih Tertatih di Tengah Target Tinggi
Turnamen Japan Open 2025 menjadi cermin yang cukup jernih tentang kondisi terkini bulu tangkis Indonesia. Absennya gelar dari semua sektor membuat kita mempertanyakan konsistensi dan kesiapan para pemain menghadapi level kompetisi dunia yang makin kompetitif. Bahkan untuk turnamen level BWF World Tour 750 sekalipun, Indonesia belum berhasil menembus final—sebuah ironi mengingat warisan prestasi yang pernah dibangun puluhan tahun.
Gregoria dan Ginting yang kembali dari masa pemulihan tidak tampil dalam performa puncak. Sementara pemain lain seperti Putri KW dan pasangan-pasangan ganda hanya mampu mencapai babak perempat final. Ini bukan sekadar masalah teknis di lapangan, tetapi mungkin juga menyangkut ritme pemulihan, pola latihan, dan kesiapan mental.