Sebagai refleksi, kita perlu bertanya: sudahkah kita benar-benar hadir bagi anak pada momen transisi ini? Jangan-jangan kita terlalu sibuk mengisi form biodata, lupa mendengarkan isi hati mereka.
2. Bahasa Apresiasi: Modal Awal Literasi Anak dalam Keluarga
Ada gagasan menarik yang disampaikan dalam artikel tersebut: membicarakan MPLS dapat menjadi awal dari pengembangan literasi anak. Bukan literasi dalam arti membaca buku pelajaran, tapi literasi dalam arti luas—kemampuan mengungkapkan, merespons, dan memahami pengalaman secara reflektif. Ini terjadi jika orangtua hadir bukan sebagai penguji, melainkan sahabat dialog.
Anak yang dibiasakan bercerita sejak awal akan tumbuh menjadi pribadi yang komunikatif dan percaya diri. Namun, semua itu berawal dari apresiasi. Sayangnya, banyak anak kehilangan semangat bercerita karena yang mereka terima hanyalah komentar singkat: “Oh gitu ya, terus?” atau “Kamu udah makan belum?” Interaksi yang tidak otentik membuat mereka menutup diri.
Jika kita memaknai MPLS sebagai pintu pembelajaran yang sejati, maka tugas orangtua adalah memastikan pintu itu dibuka dengan bahasa cinta, bukan sekadar perintah dan petuah.
3. Menyembuhkan Kekecewaan: Ketika Sekolah Bukan Pilihan Anak
Isu paling sensitif dalam masa MPLS adalah realitas bahwa banyak anak bersekolah bukan di tempat pilihannya. Ada yang gagal dalam seleksi PPDB, ada pula yang dipaksa oleh faktor orangtua atau zonasi. Dalam situasi ini, MPLS justru menjadi masa yang rawan trauma. Anak merasa tertinggal sebelum lomba dimulai. Di sinilah dukungan moril orangtua menjadi kunci.
Sungkowo memberi saran sederhana tapi mendalam: bincang-bincang ringan bisa menyembuhkan rasa tidak nyaman anak. Percakapan yang rileks, tidak menggurui, tapi mengangkat sisi positif, bisa menjadi "terapi harian" yang menumbuhkan semangat belajar kembali.
Kita patut kritisi cara sebagian orangtua merespons kekecewaan anak. Banyak yang menyarankan untuk “sabar” atau “ikhlas” tanpa memvalidasi perasaan anak. Padahal, penerimaan emosional justru mendahului motivasi rasional. Anak perlu tahu bahwa perasaannya dimengerti, baru mereka siap melangkah lagi.
4. Dari Cerita ke Doa: Menyatukan Spirit Belajar dan Spirit Keluarga