Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bincang Tak Kenal Jadwal Sibuk: Saat Orangtua Menjadi Sahabat MPLS Anak

20 Juli 2025   11:49 Diperbarui: 20 Juli 2025   11:49 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
“Kadang yang anak butuhkan bukan solusi, tapi pendengar yang tidak sibuk menoleh ke jam tangan.” (Meta AI)

Bincang Tak Kenal Jadwal Sibuk: Saat Orangtua Menjadi Sahabat MPLS Anak

“Kadang yang anak butuhkan bukan solusi, tapi pendengar yang tidak sibuk menoleh ke jam tangan.”

Oleh Karnita

Pendahuluan

Di sebuah pagi yang tak biasa pada Senin, 15 Juli 2025, sejumlah anak tampak berbaris rapi di halaman sekolah, mengenakan seragam baru, sepatu masih wangi toko, dan wajah gugup yang tersamarkan senyum tipis. Mereka bukan sekadar siswa baru—mereka adalah penjelajah awal yang hendak menaklukkan rimba bernama pendidikan. Momen ini ditangkap dengan elegan oleh Sungkowo dalam artikelnya “Dear Orangtua, Membincangkan MPLS Bersama Anak; Menyemangatinya Sekolah” yang tayang di Kompasiana pada 17 Juli 2025 dan diperbarui 19 Juli 2025. Sebuah tulisan reflektif yang tidak hanya menyoroti pentingnya peran orangtua dalam Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS), tapi juga membuka ruang kontemplasi bagi para pembaca dewasa.

Penulis merasa tergerak menyambut gagasan Pak Sungkowo, tidak hanya karena narasinya mengalir dengan hangat, namun juga karena ia menyentuh hal yang sering kita anggap sepele: mendengarkan cerita anak. Saya ingin melengkapi perspektif beliau dengan pandangan lain, yakni bagaimana obrolan ringan tentang MPLS bisa menjelma menjadi jembatan literasi keluarga, terapi emosi bagi anak yang kecewa, hingga arena tumbuhnya kesadaran spiritual orangtua akan makna kehadiran yang sesungguhnya.

Artikel ini menjadi penting dan relevan karena MPLS bukan sekadar seremoni penyambutan siswa baru. Ia adalah fase peralihan yang rawan, tempat benturan antara ekspektasi dan kenyataan anak sering terjadi. Maka, hadirnya orangtua—bukan sekadar fisik, tapi emosional dan spiritual—adalah kebutuhan yang mendesak, terutama di tengah kultur urban yang kian sibuk dan kompetitif.

1. Bukan Sekadar Tugas Sekolah: MPLS Adalah Peristiwa Emosional

Di balik nama resminya, MPLS lebih dari sekadar “agenda resmi sekolah”. Ia adalah peristiwa emosional yang menyimpan banyak kejutan: dari rasa bangga hingga kecewa, dari semangat hingga cemas. Anak-anak yang baru memasuki jenjang pendidikan baru kerap membawa beban psikologis yang tak tertulis: apakah aku akan diterima? Apakah guru akan menyukaiku? Apakah teman akan ramah?

Tulisan Pak Sungkowo mengingatkan kita bahwa peran orangtua adalah membantu anak memproses pengalaman-pengalaman itu, bukan mengabaikannya. Sayangnya, banyak orangtua terjebak dalam pola pikir administratif: selama anak hadir di sekolah dan sehat, maka semua baik-baik saja. Padahal, mendengarkan cerita anak tentang MPLS bisa menjadi kunci pembuka terhadap gejolak batin yang mereka tak tahu cara ungkapkan.

Sebagai refleksi, kita perlu bertanya: sudahkah kita benar-benar hadir bagi anak pada momen transisi ini? Jangan-jangan kita terlalu sibuk mengisi form biodata, lupa mendengarkan isi hati mereka.

Siswa baru  MPLS  sedang  menerima Materi Kedisiplinan Siswa dari Kesiswaan SMAN 13 Bandung (Dok. Kesiswaan 13 Bandung)
Siswa baru  MPLS  sedang  menerima Materi Kedisiplinan Siswa dari Kesiswaan SMAN 13 Bandung (Dok. Kesiswaan 13 Bandung)

2. Bahasa Apresiasi: Modal Awal Literasi Anak dalam Keluarga

Ada gagasan menarik yang disampaikan dalam artikel tersebut: membicarakan MPLS dapat menjadi awal dari pengembangan literasi anak. Bukan literasi dalam arti membaca buku pelajaran, tapi literasi dalam arti luas—kemampuan mengungkapkan, merespons, dan memahami pengalaman secara reflektif. Ini terjadi jika orangtua hadir bukan sebagai penguji, melainkan sahabat dialog.

Anak yang dibiasakan bercerita sejak awal akan tumbuh menjadi pribadi yang komunikatif dan percaya diri. Namun, semua itu berawal dari apresiasi. Sayangnya, banyak anak kehilangan semangat bercerita karena yang mereka terima hanyalah komentar singkat: “Oh gitu ya, terus?” atau “Kamu udah makan belum?” Interaksi yang tidak otentik membuat mereka menutup diri.

Jika kita memaknai MPLS sebagai pintu pembelajaran yang sejati, maka tugas orangtua adalah memastikan pintu itu dibuka dengan bahasa cinta, bukan sekadar perintah dan petuah.

3. Menyembuhkan Kekecewaan: Ketika Sekolah Bukan Pilihan Anak

Isu paling sensitif dalam masa MPLS adalah realitas bahwa banyak anak bersekolah bukan di tempat pilihannya. Ada yang gagal dalam seleksi PPDB, ada pula yang dipaksa oleh faktor orangtua atau zonasi. Dalam situasi ini, MPLS justru menjadi masa yang rawan trauma. Anak merasa tertinggal sebelum lomba dimulai. Di sinilah dukungan moril orangtua menjadi kunci.

Sungkowo memberi saran sederhana tapi mendalam: bincang-bincang ringan bisa menyembuhkan rasa tidak nyaman anak. Percakapan yang rileks, tidak menggurui, tapi mengangkat sisi positif, bisa menjadi "terapi harian" yang menumbuhkan semangat belajar kembali.

Kita patut kritisi cara sebagian orangtua merespons kekecewaan anak. Banyak yang menyarankan untuk “sabar” atau “ikhlas” tanpa memvalidasi perasaan anak. Padahal, penerimaan emosional justru mendahului motivasi rasional. Anak perlu tahu bahwa perasaannya dimengerti, baru mereka siap melangkah lagi.

4. Dari Cerita ke Doa: Menyatukan Spirit Belajar dan Spirit Keluarga

Satu hal yang tak banyak dibahas di forum pendidikan formal adalah dimensi spiritual dalam mendampingi anak sekolah. MPLS bisa menjadi ruang awal bagi keluarga menumbuhkan rutinitas kecil namun bermakna: misalnya, mengakhiri obrolan sore dengan doa bersama, atau menyisipkan nasihat bijak saat anak bercerita.

Pak Sungkowo menyinggung peran moral dan spiritual secara singkat. Tapi dalam praktiknya, nilai-nilai spiritual seperti sabar, syukur, dan kerja keras bisa mulai ditanamkan lewat momen MPLS ini. Misalnya, saat anak merasa tak nyaman di sekolah baru, orangtua bisa membingkai perasaan itu sebagai bagian dari proses tumbuh.

Spirit belajar dan spirit keluarga tidak perlu dipisah. Ketika anak merasa didoakan dan didukung secara utuh, bukan hanya secara logistik, maka MPLS bukan hanya perkenalan terhadap sekolah, melainkan juga perkenalan terhadap nilai hidup.

5. MPLS Sebagai Laboratorium Kecil Pendidikan Nasional

Pemberian Materi oleh TNI bagi peserta Peserta MPLS SMAN 13 Bandung 2025 (Dok. Kesiswaan 13 Bandung) 
Pemberian Materi oleh TNI bagi peserta Peserta MPLS SMAN 13 Bandung 2025 (Dok. Kesiswaan 13 Bandung) 

Akhirnya, penting untuk memandang MPLS tidak hanya sebagai fenomena individual anak dan keluarga, tapi juga sebagai cermin mini dari wajah pendidikan kita. Apakah MPLS ramah dan reflektif? Apakah sekolah memberi ruang partisipasi bagi suara anak? Apakah orangtua dilibatkan, bukan hanya diminta hadir di hari pertama?

Tulisan Pak Sungkowo memberi kita satu perspektif penting: pendidikan tidak hanya tugas sekolah. Orangtua dan rumah adalah bagian dari ekosistem yang menentukan apakah anak akan merasa “berada” atau “terasing”. Kritik terhadap sistem formal bisa dimulai dari hal kecil: apakah rumah kita menjadi tempat anak ingin pulang dan bercerita?

Jika semua pihak memaknai MPLS sebagai laboratorium pendidikan karakter dan relasi, maka bangsa ini sedang mengawali tahun ajaran baru dengan langkah yang benar.

Penutup

“Obrolan kecil di meja makan bisa lebih kuat dari motivasi dari panggung seminar.”

Tulisan Sungkowo di Kompasiana bukan sekadar catatan blog. Ia adalah refleksi mendalam tentang betapa pentingnya keterlibatan orangtua dalam hal-hal yang sering dianggap kecil. Dari mendengarkan cerita MPLS, kita belajar bahwa pendidikan terbaik dimulai bukan dari kelas, tapi dari rumah—dari meja makan, dari pelukan pagi, dari percakapan santai sebelum tidur.

MPLS hanyalah tiga hingga lima hari, tapi dampaknya bisa mengakar bertahun-tahun. Bila orangtua dapat menjadikan momen ini sebagai ruang pembentukan karakter dan kedekatan emosional, maka anak akan memulai pendidikannya bukan dengan beban, tapi dengan bahagia. Wallahu a'lam. 

Daftar Pustaka:
Sungkowo. (2025, 17 Juli). Dear Orangtua, Membincangkan MPLS Bersama Anak; Menyemangatinya Sekolah. Kompasiana. https://www.kompasiana.com/pakdhekowo/6879189eed6415101d2bc8b2

Kompas.com. (2025, 15 Juli). Hari Pertama MPLS: Sekolah Siapkan Protokol Mental Anak Didik. https://www.kompas.com

Kemendikbud. (2024). Pedoman Pelaksanaan MPLS Tahun Ajaran 2024/2025. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

UNICEF Indonesia. (2023). Parental Engagement in Education: A Policy Brief. Jakarta: UNICEF.

Tempo.co. (2023, 20 Juli). Psikolog: Transisi Sekolah Baru Bisa Picu Stres Anak, Perlu Peran Orangtua. https://www.tempo.co

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun