Dapur Kita, Dunia yang Bergolak: Menjaga Pangan di Tengah Badai Geopolitik
"Dalam setiap gejolak politik dunia, yang pertama terguncang adalah dapur rakyat biasa."
Oleh Karnita
Pendahuluan: Pangan, Politik, dan Gejolak yang Diam-diam Mencekik
Ada yang tak terlihat namun menggetarkan dari sebuah konflik geopolitik: ia merayap ke ladang, ke pasar, dan akhirnya ke piring makan. Ketika Dani Lukman Hakim menulis dalam Republika (26 Juni 2025) bahwa krisis antara Iran dan Israel bukan sekadar perang di Timur Tengah, tapi juga perang yang mengetuk pintu dapur rumah tangga Indonesia, ia sedang menyalakan lampu kesadaran kita akan keterkaitan global yang begitu rapuh.
Tulisan beliau menguliti dampak-dampak tak kasatmata dari konflik yang jauh dari peta kita—beras basmati yang tertahan, teh India yang tak terkirim, pupuk yang tak jadi diproduksi, dan minyak nabati yang harganya melonjak. Semua ini mengisyaratkan: pangan bukan sekadar urusan domestik, melainkan bagian dari ekosistem global yang bisa ambruk hanya karena satu simpul terguncang.
Saya sepakat dengan peringatan dan analisis yang ditawarkan penulis. Namun, kami merasa penting untuk melengkapi dengan beberapa perspektif reflektif—terutama dalam konteks bagaimana krisis ini menjadi alarm dini bagi ketahanan pangan kita yang masih bersifat semu. Jika tidak disikapi serius, kita akan terus menjadi penonton dalam fluktuasi harga dan kebijakan global, alih-alih menjadi aktor yang tangguh dan mandiri dalam mengatur logistik pangan nasional.
1. Geopolitik Masakannya di Dapur Kita
Ketegangan antara Iran dan Israel tidak hanya menghantam kawasan, tetapi juga beriak hingga ke meja makan keluarga di Asia Tenggara. Krisis pengiriman beras basmati dan teh dari India adalah contoh nyata bagaimana relasi antarnegara bisa membuat sistem pangan global kacau. Meskipun Indonesia bukan importir utama beras basmati, efek domino dari pengalihan pasar bisa memengaruhi ketersediaan dan harga beras medium dan long grain yang biasa kita konsumsi.
Inilah yang membuat pangan menjadi isu geopolitik yang sangat sensitif. Seringkali kita berpikir bahwa konflik bersenjata hanya memengaruhi korban jiwa atau kerusakan infrastruktur. Padahal, dampaknya lebih luas—hingga ke perut orang miskin dan kantong petani kecil. Dengan kata lain, setiap tembakan rudal di Teluk Persia bisa berarti lonjakan harga di warung sayur pasar kelurahan.