Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Lembaran Papan ke Lembaran Hati: Dua Guru, Satu Cinta untuk Mama Sisi

27 Juni 2025   11:03 Diperbarui: 27 Juni 2025   11:03 69426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru Heribertus  berpose bersama Mama Maria Sisilia di depan rumah reyot di Leke, Kota Komba, NTT,KOMPAS.COM/Guru Heribertus M.)

Di sinilah nilai lokalitas mengambil peran. Ketika warga kampung saling mengenal dan masih menyebut nama satu sama lain, nilai kemanusiaan bisa mengalir lebih hangat. Inisiatif seperti ini juga mengajarkan bahwa pendidikan karakter tidak harus selalu lewat modul, tapi bisa melalui keteladanan hidup.

Namun, gerakan semacam ini perlu didukung sistem. Bagaimana jika ada unit kecil "guru penggerak sosial" yang diberi mandat dan insentif untuk melakukan pendampingan sosial di luar jam pelajaran?

5. Kita Butuh Lebih Banyak "Guru Hati"

Kisah ini bukan soal dua orang guru dan satu ibu tangguh semata. Ini adalah tentang bagaimana ruang-ruang kemanusiaan masih bisa dibuka dengan tindakan kecil. Bahwa sekolah bukan hanya tempat belajar, tapi bisa jadi titik awal perubahan sosial nyata. Bahwa rumah reyot bukan sekadar arsitektur kemiskinan, tapi cermin dari kebijakan publik yang belum menyapa.

Refleksi penting dari kisah ini adalah perlunya membina solidaritas di tingkat lokal. Jika dua guru bisa mengubah hidup satu keluarga, bagaimana jika sekolah, pemerintah desa, tokoh agama, dan pemuda lokal ikut bergerak bersama?

Kita membutuhkan lebih banyak "guru hati" seperti Minggus dan Elias---yang mengajarkan bukan hanya lewat papan tulis, tapi lewat teladan dan keberanian menengok tetangga.

Penutup: Seperti Lilin di Tengah Gelap

Dalam sunyi rumah bambu yang lapuk itu, ada nyala kecil yang tak padam. Dari Mama Sisi, kita belajar bahwa hidup tak harus keras kepala untuk tetap bertahan. Dari Minggus dan Elias, kita belajar bahwa empati adalah ilmu terpenting yang tak tertulis di silabus. Mereka adalah lilin kecil yang menyala bukan untuk diri sendiri, tapi untuk menerangi sekelilingnya.

"Jika pendidikan adalah cahaya, maka kasih sayang adalah nyala abadi yang membuatnya hidup."

Semoga kisah ini menjadi pemantik---bukan hanya rasa iba, tapi juga tindakan. Karena sering kali, yang dibutuhkan bukanlah dunia yang sempurna, tapi satu dua orang yang cukup peduli untuk membuat perbedaan. Wallahu a'lam.

Daftar Pustaka:

  1. Kompas.com. (2025, 27 Juni). Kisah Inspiratif Dua Guru NTT: Bantu Ibu Tunggal Hidupi 8 Keponakan dan Cucunya di Rumah Reyot. https://www.kompas.com
  2. Media Indonesia. (2024, 3 Desember). Guru dan Pengabdian Sosial: Teladan di Tengah Minimnya Fasilitas.
  3. Harian Kompas. (2023, 15 Agustus). Kemiskinan Administratif dan Tantangan Inklusi Data Warga Pinggiran.
  4. Republika. (2024, 12 November). Perempuan dan Perjuangan Tak Kasat Mata: Potret Ibu-Ibu Tangguh di Daerah 3T.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun