Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Lembaran Papan ke Lembaran Hati: Dua Guru, Satu Cinta untuk Mama Sisi

27 Juni 2025   11:03 Diperbarui: 27 Juni 2025   11:03 69426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru Heribertus  berpose bersama Mama Maria Sisilia di depan rumah reyot di Leke, Kota Komba, NTT,KOMPAS.COM/Guru Heribertus M.)

Kritik elegan terhadap sistem pendidikan kita pun mengemuka: mungkinkah kurikulum kita ikut memberi ruang bagi pengembangan karakter dan jiwa sosial guru semacam ini? Ataukah semuanya justru semakin terjebak dalam administratif dan penilaian kinerja yang kaku?

2. Ketika Rumah Reyot Menjadi Cermin Kebijakan Sosial

Rumah Mama Sisi berdiri di tepi jalan besar, tapi seperti terasing di tengah arus. Ukurannya hanya 2x3 meter, menjadi tempat berlindung sembilan jiwa. Tak ada aliran listrik tetap, tak ada jaminan air bersih atau kepemilikan tanah yang legal. Keadaan itu bukan hanya menyentuh, tapi juga memprihatinkan: bagaimana bisa seorang warga negara hidup begitu lama tanpa kepemilikan dokumen sipil dasar seperti KTP dan KK?

Ketika Minggus dan Elias membantu Mama Sisi mengurus KTP elektronik dan KK, mereka sejatinya sedang menjembatani ketimpangan sosial yang diabaikan negara. Ini adalah tindakan sipil yang seharusnya dilakukan oleh banyak pihak---RT, kelurahan, kecamatan, bahkan dinas sosial.

Namun di sini kita belajar, bahwa kemiskinan administratif bukan hanya soal akses teknologi, tapi juga soal perhatian. Berapa banyak "Mama Sisi" lain yang tertinggal bukan karena tak mau, tapi karena tak tahu harus ke mana? Apakah sistem kita terlalu menara gading, hingga lupa bagaimana menjangkau rumah-rumah reyot di pinggiran seperti milik Mama Sisi?

3. Perempuan, Kehilangan, dan Ketangguhan Tak Bersuara

Mama Sisi adalah potret perempuan Indonesia yang hampir tak terdengar. Suaminya telah lama meninggal, ia tak punya anak kandung, namun merawat delapan anak dari saudaranya. Setiap pagi, ia membawa bakul di kepala, menjajakan hasil kebun dari kampung ke kota, dari rumah ke rumah, tanpa tahu apakah hari itu cukup untuk membeli satu kilogram beras.

Ia bukan aktivis, bukan figur viral di media sosial. Tapi justru dari dirinya, kita menemukan makna tangguh yang tak mengeluh. Di tengah diskursus besar tentang pemberdayaan perempuan, Mama Sisi mengajarkan bahwa kekuatan bukan selalu soal karier atau panggung publik, melainkan tentang ketulusan menjaga hidup banyak orang di tengah kekurangan.

Namun kita tak boleh hanya mengaguminya---kita juga harus bertanya: mengapa perempuan seperti Mama Sisi harus memikul beban sosial begitu besar tanpa perlindungan negara yang memadai? Apa yang sudah dilakukan lembaga perlindungan sosial di tingkat lokal?

4. Berbagi dari Kekurangan: Paradigma Baru Filantropi Lokal

"Berbagi kasih dari kekurangan" bukan sekadar moto dua guru ini---ia adalah filosofi hidup. Mereka tidak menunggu kaya untuk memberi, dan tidak menunggu panggung untuk berbuat. Dalam dunia yang sering terjebak pada konsep filantropi sebagai donasi besar-besaran, tindakan kecil dari Minggus dan Elias justru membentuk narasi baru: bahwa berbagi itu bisa dimulai dari satu butir telur dan satu langkah kaki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun