Sumur Tanpa Dasar: Dari Kekayaan ke Kekosongan, dari Hidup ke Kehampaan
"Sumur tanpa dasar itu bukan milik hutan, bukan pula milik gunung. Ia menggema di hati manusia yang kehilangan makna."
Oleh KarnitaÂ
Pendahuluan: Kilas Balik Panggung dan Pesan yang Menetap
Sekitar tahun 1990, di bawah bimbingan Bapak Yoyo Mulyana dan Bapak Sumiyadi, sebuah pementasan drama "Dalam Bayangan Tuhan Atawa Interogasi (Bagian I)"  oleh  mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Angkatan "89, FPBS,  IKIP Bandung menghidupkan panggung. Saya saat itu memainkan tokoh piguran, dokter. Pementasan ini bukan sekadar ujian mata kuliah Drama, tetapi menjadi momen kontemplatif yang tak lekang dikenang. Di kesempatan lain insya Allah akan saya ulas dramanya.Â
Kali ini saya akan mengulas drama Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C. Noer, diterbitkan Pustaka Utama Grafiti (1989), terus menggema relevansinya. Meski telah berlalu puluhan tahun sejak pertama kali dipentaskan pada 1964 oleh Teater Muslim, dan dihidupkan kembali di TIM oleh Teater Ketjil (1971), naskah ini seperti tidak pernah benar-benar usang. Seiring makin banyaknya tragedi kemanusiaan kontemporer yang bersumber dari kekosongan batin dan kehilangan arah hidup, pesan lakon ini justru kian nyaring.
Mengangkat kisah Jumena Martawangsa, seorang pengusaha sukses namun terasing dari kebahagiaan, Sumur Tanpa Dasar merefleksikan kerapuhan manusia modern yang kehilangan akar spiritualitasnya. Di tengah gejala kekayaan yang kerap disalahartikan sebagai indikator kebahagiaan, lakon ini memberi ruang perenungan---bahwa tidak semua sumur mengandung air, dan tidak semua pencapaian menyisakan arti.
Jejak Teman Seangkatan: Salam Takzim dari Panggung yang Tak Terlupa
Pementasan drama "Dalam Bayangan Tuhan Atawa Interogasi (Bagian I") saat kuliah menjadi pengalaman yang tak hanya kaya makna, tetapi juga penuh rasa---karena dijalankan bersama rekan-rekan seangkatan yang luar biasa. Dalam kenangan yang kini berpendar lembut, izinkan saya menyebut nama-nama mereka satu per satu---sebagai salam takzim yang semoga bisa menjadi pengobat rindu, penanda kasih, dan simpul nostalgia yang tak pernah putus.