SPMB Tahap I 2025 Jawa Barat: Ujian Kejujuran dalam Sistem yang Belum Tuntas
"Transparansi bukan sekadar slogan, tapi jalan menuju keadilan dalam pendidikan."
Oleh Karnita
Pendahuluan: Ketika Digitalisasi Tak Menjamin Keadilan
SPMB Tahap I 2025 telah berakhir. Pada 18 Juni 2025, Pikiran Rakyat menerbitkan laporan tentang berakhirnya Tahap I Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) di Jawa Barat, disertai catatan kritis dari Ombudsman RI Perwakilan Jawa Barat. Meski semangat pemerataan dan digitalisasi telah digaungkan, berbagai masalah teknis dan administratif masih mencuat, termasuk indikasi manipulasi data domisili oleh calon siswa.
Penulis menaruh perhatian pada isu ini karena SPMB seharusnya menjadi ujian integritas sistem pendidikan kita, bukan sekadar mekanisme distribusi kursi sekolah. Ketika pelaksanaan jalur domisili tidak dapat menjamin keadilan bagi peserta yang jujur, maka sistem itu sendiri patut ditinjau ulang secara menyeluruh—bukan hanya diperbaiki secara teknis.
Urgensinya terletak pada ancaman jangka panjang: ketimpangan akses pendidikan bisa diperparah jika kebijakan afirmatif justru memberi ruang pada akal-akalan. Maka, sudah saatnya publik tidak hanya menyoroti hasil seleksi, tetapi turut mengawal kualitas sistem yang menyeleksi.SPMB Tahap I 2025 telah berakhir. Pada 18 Juni 2025, Pikiran Rakyat menerbitkan laporan tentang berakhirnya Tahap I Seleksi Penerimaan.
1. Masalah Teknis yang Menyisakan Ketidakpastian
Selama pelaksanaan SPMB Tahap 1, berbagai kendala teknis seperti server yang down, keterlambatan verifikasi, serta data pendaftar yang tidak muncul menjadi keluhan utama. Ombudsman mencatat bahwa meskipun ada upaya bantu dari panitia sekolah, sistem secara keseluruhan belum siap untuk menampung lonjakan pendaftar secara digital.
Masalah ini memperlihatkan bahwa transformasi digital tanpa kesiapan infrastruktur hanya menghasilkan frustrasi publik. Tidak hanya pendaftar yang dirugikan, operator sekolah juga terbebani karena harus menyelesaikan verifikasi di tengah keterbatasan waktu dan sistem yang tidak stabil.
Solusinya, pemerintah daerah perlu membangun sistem antrean daring yang lebih cerdas, memperkuat kapasitas server, serta mengaktifkan posko teknis di setiap satuan pendidikan. Transformasi digital harus inklusif secara teknis dan adil secara sosial.
2. Manipulasi Alamat: Wajah Kelam Domisili
Salah satu temuan serius adalah adanya indikasi manipulasi alamat domisili oleh calon siswa agar bisa lolos jalur domisili. Beberapa alamat terdeteksi tidak sesuai koordinat, memiliki nomor rumah fiktif, atau merupakan rumah kosong. Praktik ini mencederai esensi zonasi yang bertujuan mempermudah akses pendidikan bagi anak di sekitar sekolah.
Fenomena ini terjadi karena dua sisi: lemahnya verifikasi oleh sistem dan ketidakjujuran sebagian masyarakat. Ketika integritas sistem longgar, maka kecenderungan untuk menyiasatinya pun meningkat. Ini menjadi tanda bahwa sistem zonasi kita belum tuntas dibenahi, baik dari sisi teknis maupun etis.
Diperlukan langkah korektif berupa integrasi data dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, inspeksi acak ke alamat rawan manipulasi, serta sanksi tegas terhadap pemalsuan. Transparansi dan keterbukaan data juga penting agar masyarakat bisa turut mengawasi.
3. Jalur Afirmasi: Harapan yang Perlu Dukungan Nyata
Meskipun terdapat jalur afirmasi untuk peserta dari keluarga tidak mampu, pelaksanaannya masih menghadapi kendala. Banyak siswa dari kelompok rentan tidak tertampung, sebagian karena mengundurkan diri dari penyaluran awal atau tidak paham prosedur lanjutan. Padahal, jalur ini dirancang untuk memperkecil kesenjangan akses.
Pemerintah memang telah menyalurkan calon siswa penerima program P3KE, namun kurangnya pendampingan dan sosialisasi membuat potensi jalur afirmasi belum sepenuhnya optimal. Keterbatasan pilihan sekolah negeri juga membuat sebagian siswa bingung mengambil langkah selanjutnya.
Solusi yang disarankan Ombudsman—yakni menyiapkan bantuan masuk sekolah swasta—perlu ditindaklanjuti secara sistematis. Selain itu, perlu pelatihan literasi prosedural bagi orang tua, serta penguatan layanan afirmatif secara proaktif oleh Dinas Pendidikan.
4. Masa Sanggah yang Tidak Efektif
Masa sanggah yang seharusnya menjadi ruang koreksi justru diwarnai ketidaksiapan. Di hari terakhir, sekolah masih menerima dan memproses keluhan karena verifikasi belum selesai dan data belum sepenuhnya muncul di laman resmi. Ini mencerminkan lemahnya manajemen waktu dan koordinasi antarunit.
Jika masa sanggah tidak efektif, maka potensi kesalahan dalam seleksi tidak akan bisa diperbaiki tepat waktu. Ini memperbesar risiko ketidakadilan terhadap peserta yang sebenarnya memenuhi syarat namun datanya tertinggal atau tertolak karena kesalahan sistem.
Rekomendasinya adalah menetapkan SOP nasional untuk penanganan sanggah dengan sistem pelaporan yang terbuka dan tenggat waktu pasti. Perlu juga dibuka kanal daring yang menampilkan status pengajuan sanggah, waktu proses, dan hasil akhirnya agar masyarakat tidak merasa ditinggalkan.
5. Membangun Kembali Kepercayaan Publik
SPMB sejatinya bukan sekadar urusan teknis pendidikan, melainkan juga ruang untuk membangun kepercayaan antara negara dan warganya. Ketika sistem seleksi tak transparan, curang, atau menyulitkan, maka kepercayaan masyarakat terhadap sekolah negeri bisa runtuh—dan ini berbahaya untuk jangka panjang.
Namun perlu diakui, perbaikan tidak bisa hanya datang dari pemerintah. Masyarakat juga punya tanggung jawab untuk tidak menyiasati sistem demi keuntungan pribadi. Mendidik anak dengan cara curang adalah investasi moral yang kelak bisa membalik arah.
Membangun sistem yang adil harus disertai pembangunan karakter publik. Pendidikan karakter bukan hanya untuk siswa, tetapi juga untuk orang tua dan penyelenggara sistem. Hanya dengan kejujuran kolektif, keadilan sistemik bisa diwujudkan.
Penutup: Seleksi yang Menyaring Etika, Bukan Sekadar Data
SPMB 2025 telah memberi pelajaran bahwa sistem digital tidak menjamin keadilan jika tidak disertai tata kelola dan etika kolektif. Ketika jalur zonasi disalahgunakan dan afirmasi tidak menjangkau yang membutuhkan, maka pendidikan kehilangan peran sosialnya sebagai alat pemerataan.
"Jika anak-anak belajar bahwa kecurangan bisa membuka pintu sekolah, maka kita sedang menutup pintu masa depan yang adil."
Semoga ke depan, reformasi SPMB bukan hanya tentang teknologi, tapi juga tentang keberanian memperbaiki niat, sistem, dan kejujuran kita bersama. Wallahu a'lam.Â
Sumber Berita:Â
Pikiran Rakyat. (2025, 18 Juni). SPMB Tahap 1 Telah Berakhir, Ombudsman Jawa Barat Beri Catatan Penting. https://www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/pr-019427902
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI