Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

"Ka Mana Wae Sekda?": Sindiran, Etika, dan Tantangan Kolektif Etos Birokrasi

20 Juni 2025   16:28 Diperbarui: 20 Juni 2025   16:28 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ka Mana Wae Sekda?”: Sindiran, Etika, dan Tantangan Kolektif Etos Birokrasi
“Berselisih di ruang sidang, berjarak di mata publik: jangan sampai birokrasi kehilangan adab dan arah.”

Oleh Karnita

Pendahuluan: Menjaga Wibawa, Bukan Mencipta Riak

Pada 19 Juni 2025, Kompas.com memuat berita berjudul "Wakil Gubernur Jabar Sindir Sekda yang Jarang Ngantor: 'Ka Mana Wae Sekda?'" yang menyulut sorotan publik terhadap dinamika internal Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Sindiran Wakil Gubernur Jawa Barat, Erwan Setiawan, terhadap Sekda Herman Suryatman, disampaikan secara terbuka di forum resmi DPRD, memantik riuh dan perdebatan. Di tengah pembahasan utang BPJS Jabar sebesar Rp300 miliar, pernyataan Erwan memperluas fokus isu: bukan hanya soal akuntabilitas keuangan, tapi juga keteladanan kehadiran pejabat struktural.

Artikel ini menarik disorot karena memperlihatkan potret relasi birokrasi yang seharusnya saling menguatkan, justru terganggu oleh gaya komunikasi yang kurang elok. Semangat transparansi dan akuntabilitas seyogianya tetap dijaga dalam bingkai etika dan harmoni antarpejabat publik. Ketika sindiran dilakukan di ruang formal dan terbuka, risiko friksi horizontal serta fragmentasi persepsi publik terhadap kesatuan pemerintah menjadi besar.

Di balik semua ini, urgensi utamanya adalah membangun budaya pemerintahan yang profesional, kompak, dan saling menopang. Etika komunikasi publik menjadi fondasi dalam mewujudkan kepemimpinan yang berkeadaban. Dalam sistem demokrasi modern, persatuan tidak cukup hanya jargon, tapi harus dibuktikan melalui praktik sinergis yang elegan di tengah perbedaan.

1. Sindiran di Forum Terbuka: Etika dan Efek Domino

Sindiran Erwan di forum DPRD jelas menggugah publik, tetapi juga menimbulkan pertanyaan: apakah cara tersebut mencerminkan etika birokrasi yang baik? Di satu sisi, transparansi diperlukan, namun di sisi lain, menyampaikan kritik secara terbuka di hadapan legislatif dan media tanpa koordinasi internal terlebih dahulu dapat melemahkan wibawa birokrasi secara kolektif. Ruang publik tidak seharusnya menjadi tempat perhitungan personal.

Kritik memang perlu, tetapi pendekatan harus elegan dan berdasar pada mekanisme formal internal, bukan retorika sidang. Perbedaan gaya kerja antarpejabat harusnya dijembatani dengan diskusi tertutup, bukan dibuka ke ruang riuh. Di sini, muncul tantangan: bagaimana para pemimpin daerah menunjukkan keteladanan dalam menyampaikan aspirasi, tanpa mengorbankan citra bersama?

Solusinya, perlu dibangun protokol komunikasi antarpejabat yang etis dan konstruktif. Forum internal lintas peran strategis seperti Sekda, Wagub, dan Gubernur bisa dimanfaatkan sebagai tempat klarifikasi, bukan forum DPRD yang fungsinya lebih substantif dalam tata kelola anggaran dan kebijakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun