2. Ketidakhadiran atau Gaya Kepemimpinan Lapangan?
Pernyataan Sekda Herman Suryatman menggarisbawahi pendekatan “sabubukna” yang menekankan kerja totalitas dan kehadiran di lapangan. Ini mencerminkan gaya birokrasi baru yang lebih proaktif, responsif, dan tidak melulu berkutat di balik meja. Namun, pendekatan ini bisa menimbulkan kesalahpahaman bila tidak dikomunikasikan dengan transparan ke jajaran internal dan publik.
Di sisi lain, kehadiran fisik di kantor tetap penting untuk fungsi koordinasi dan pengambilan keputusan strategis. Apalagi dalam posisi Sekda sebagai Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), keberadaan fisik di forum-forum penting seperti rapat DPRD menjadi simbol tanggung jawab. Ketidakhadiran, meski punya alasan struktural, tetap menimbulkan ruang spekulasi.
Solusi yang perlu ditawarkan ialah memperkuat mekanisme dokumentasi kinerja lapangan secara real-time dan terbuka. Papan kinerja digital, laporan harian, atau sistem absensi berbasis agenda kerja bisa menjadi jembatan persepsi antara kerja nyata dan kehadiran fisik.
3. Uang, Tanggung Jawab, dan Ketersambungan Birokrasi
Pertanyaan Fraksi PDIP soal utang Rp300 miliar kepada BPJS menunjukkan bahwa substansi persoalan utama adalah akuntabilitas fiskal. Namun perhatian publik justru dialihkan ke sindiran internal. Ini menggambarkan bagaimana disrupsi komunikasi bisa mengaburkan masalah utama. Padahal, isu utang kepada BPJS menyangkut pelayanan publik, jaminan sosial, dan kelangsungan sistem kesehatan.
Dalam konteks ini, pejabat publik perlu menyadari prioritas komunikasi. Fokus harus dikembalikan ke penyelesaian isu keuangan secara tuntas, dan bukan memperbesar drama internal. Ketika publik dibiarkan menonton disharmoni antarpejabat, kepercayaan terhadap kinerja birokrasi bisa menurun drastis.
Langkah konkret yang diperlukan adalah memperkuat forum teknokratik seperti TAPD dan Bappeda untuk menjawab persoalan substansi. Selain itu, mempercepat transparansi penyelesaian utang dengan penjadwalan ulang, audit terbuka, dan kerja sama dengan BPJS adalah bentuk tanggung jawab birokrasi yang seharusnya lebih disorot.
4. Politik Simbolik di Era Visual: Peran Media dan Framing
Pernyataan “Ka mana wae Sekda?” yang disambut riuh dalam sidang mencerminkan kekuatan politik simbolik dalam era media sosial. Kalimat itu mudah dikutip, dipelintir, dan dijadikan senjata persepsi. Di satu sisi, masyarakat merasakan kedekatan karena bahasa yang familiar. Namun di sisi lain, bahasa tersebut bisa dianggap menyederhanakan kompleksitas birokrasi.