2. Etika Bisnis: Antara Aji Mumpung dan Kewajiban Sosial
Beberapa pelaku UMKM menggunakan narasi "usaha masih kecil" sebagai pembenaran untuk membayar karyawan jauh di bawah upah minimum. Ini bukan hanya masalah kapasitas, tapi juga mentalitas. Tanpa etika kerja yang kuat, relasi kerja dalam UMKM rentan berubah menjadi eksploitatif, apalagi ketika posisi tawar pekerja lemah dan tidak ada sistem perlindungan.
Etika bisnis seharusnya tidak mengenal skala usaha. Prinsip keadilan dan empati tetap harus hadir, terutama karena UMKM sering kali dibangun atas dasar kekeluargaan. Ironisnya, konsep "keluarga" kadang justru dijadikan pembenaran untuk menihilkan hak pekerja. Ini menyulitkan upaya profesionalisasi tenaga kerja di sektor ini.
Pelaku UMKM perlu menggeser paradigma: dari "karyawan sebagai beban" menjadi "karyawan sebagai mitra". Pemerintah daerah dan komunitas seperti Kompasiana dapat berperan sebagai kanal edukasi etik bisnis mikro, lewat kampanye publik, konten teladan, atau pelatihan berbasis pengalaman. Ketika pelaku usaha mulai memandang pegawai sebagai bagian dari pertumbuhan, relasi kerja menjadi lebih sehat dan berkelanjutan.
3. Kesenjangan Regulasi dan Perlindungan Pekerja Informal
Mayoritas pekerja di UMKM tidak memiliki kontrak formal, apalagi perlindungan sosial. Ini menimbulkan kekosongan regulatif yang meminggirkan hak-hak dasar buruh mikro. Data BPS (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 50% pekerja Indonesia berada di sektor informal, yang sebagian besar bekerja untuk UMKM, tanpa jaminan hukum maupun kesejahteraan.
UU Cipta Kerja dan regulasi turunannya memang memberi ruang fleksibilitas, namun belum menyentuh praktik di lapangan secara memadai. Pelaku usaha kecil kesulitan memahami aturan, sementara pekerja tidak tahu bagaimana menuntut haknya. Akibatnya, ada "kontrak diam-diam" yang berlangsung tanpa perlindungan atau kepastian hukum.
Salah satu jalan tengah yang dapat dikembangkan adalah sistem pengupahan berbasis klasifikasi usaha. UMKM dapat didorong membuat kesepakatan kerja sederhana yang disahkan oleh komunitas bisnis lokal atau koperasi pekerja. Dengan insentif berupa akses pembiayaan, pelaku usaha akan lebih terdorong mengatur penggajian dengan skema yang layak, fleksibel, dan legal.
4. Praktik Baik di Lapangan: UMKM yang Berpihak pada Kesejahteraan
Meski banyak tantangan, tidak sedikit UMKM yang membuktikan bahwa menggaji karyawan secara layak adalah mungkin. Salah satu contoh inspiratif datang dari Roti Kita, sebuah usaha roti rumahan di Bandung yang memberlakukan sistem bonus triwulan dan hari kerja fleksibel untuk stafnya. Dalam testimoni yang dibagikan lewat media sosial, karyawan menyatakan merasa dihargai dan berkomitmen tinggi terhadap pertumbuhan usaha.
Keberhasilan ini dicapai dengan pendekatan manajemen partisipatif dan keuangan terbuka. Pemilik usaha melibatkan pegawai dalam evaluasi penjualan dan pembagian insentif. Alih-alih memandang karyawan sebagai buruh, mereka diposisikan sebagai mitra usaha yang tumbuh bersama.