"Ayo Baca": Diplomasi Sastra dan Misi Literasi yang Tak Boleh Setengah Hati
“Sebuah bangsa yang tinggi literasinya adalah bangsa yang punya kendali atas masa depan.”
Oleh Karnita
Pendahuluan: Dari Mode hingga Sastra, Diplomasi Budaya Menggema
Pekan terakhir Mei 2025 menandai momen penting dalam kerja sama budaya antara Indonesia dan Prancis. Tak hanya urusan militer dan industri yang menjadi topik kunjungan Presiden Emmanuel Macron ke Indonesia, namun juga sastra, mode, dan perfilman turut menjadi pilar diplomasi. Menteri Kebudayaan Prancis, Rachida Dati, bahkan menegaskan bahwa kerja sama budaya harus sejajar pentingnya dengan keamanan dan teknologi.
Yang paling mencuri perhatian dari kerja sama ini adalah peluncuran program “Ayo Baca” oleh Institut français d'Indonésie (IFI) bersama Gramedia. Sebuah ikhtiar memperkenalkan sastra kontemporer Prancis ke Indonesia, sambil menghidupkan kembali minat baca anak muda tanah air. Program ini terdiri dari tiga fase: penghargaan sastra, pustaka keliling, hingga festival literasi dan penulisan.
Namun, pertanyaan kritis muncul: Apakah kerja sama semacam ini cukup menjawab tantangan literasi kita yang lebih struktural dan multidimensi?
1. “Ayo Baca”, Tapi Bagaimana dengan Infrastruktur Literasi Kita?
"Membaca bukan soal niat semata, tapi juga soal akses."
Meskipun proyek “Ayo Baca” terdengar segar dan inspiratif, kita tak boleh menutup mata pada kenyataan menyakitkan: Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) Indonesia tahun 2022 masih tergolong rendah. Berdasarkan data UNESCO dan PISA, minat baca pelajar Indonesia bahkan menduduki peringkat bawah di ASEAN. Masalah utamanya bukan sekadar ketertarikan, tapi minimnya akses pada bahan bacaan bermutu dan terjangkau, terutama di luar Jawa.