Tiga tahun ia konsisten. Uang terkumpul Rp2,1 juta. Belum cukup untuk sepatungan kurban sapi (Rp2,5 juta), namun orang tuanya dengan bangga menambahi kekurangannya. Bagi mereka, anak sekecil Hani yang sudah punya niat dan usaha keras, layak didorong penuh.
"Berbuat baik bukan soal umur, tapi soal keberanian hati."
Dari Ruang Belajar ke Ruang Kurban
Pandemi COVID-19 membuat Hani lebih banyak berada di rumah. Tak ada hiruk-pikuk sekolah, tak banyak waktu bermain. Tapi Hani tidak mengeluh. Ia isi waktunya dengan hal produktif: belajar dan menabung. Inilah yang membuat orang tuanya bangga bukan main.
Ketika celengan dibuka dan uang dihitung, Hani langsung meminta agar dana itu diserahkan ke panitia kurban Masjid Nurul Iman. Tidak ada ragu, tidak ada tanya-tanya. Ia bahkan menolak saat orang tuanya bertanya ulang: "Yakin, Nak, untuk kurban?"
Niatnya teguh. Ketulusannya tak goyah. Padahal Hani belum balig, belum terbebani kewajiban kurban menurut syariat. Tapi di situlah letak kekuatannya. Justru karena belum wajib, maka tindakannya menjadi lebih murni, lebih indah, lebih menyentuh hati.
"Kebaikan kecil dari anak kecil bisa menggugah kesadaran orang dewasa."
Pelajaran dari Hani untuk Kita Semua
Di masjid tempat ia berkurban, Hani adalah peserta termuda. Yang lain sudah dewasa---ada pedagang, mahasiswa, bahkan kepala keluarga. Tapi siapa yang paling murni niatnya? Siapa yang menabung sejak TK hanya untuk kurban? Barangkali hanya Hani.
Kisah ini mengingatkan kita: berkurban bukan tentang kemampuan semata, melainkan kemauan. Banyak dari kita mampu membeli sapi sendiri, tapi menunda karena urusan lain. Sementara Hani, dengan segala keterbatasannya, justru mendahulukan kurban di usia belia.
Apa yang bagi orang dewasa dianggap remeh, menjadi makna besar bagi anak ini. Ia tak pernah mengeluh meski uang celengannya habis. Ia malah senang dan berharap bisa mengulangi lagi tahun depan. Ketulusan seperti ini, sungguh layak dicontoh.