"Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya..." (HR. Bukhari dan Muslim)
Ada fenomena diam-diam namun mengakar: banyak orang memaksakan diri membeli sapi pribadi demi gengsi, meski secara finansial mereka kesulitan. Patungan kambing—yang seharusnya mulia dan sah secara syariat—justru dianggap ‘kurang wah’, tak cukup untuk dibanggakan di lingkar sosial.
Tekanan ini melahirkan berbagai konsekuensi: ada yang terpaksa berhutang, mengorbankan kebutuhan rumah tangga, bahkan menunda berkurban dengan alasan belum bisa beli sapi. Padahal, semangat kurban seharusnya hadir dari keikhlasan, bukan karena ingin terlihat mampu atau karena tuntutan sosial.
Keputusan untuk berkurban semestinya lahir dari kedalaman niat, bukan dari paksaan lingkungan. Karena pada akhirnya, yang dinilai bukan seberapa besar hewan yang disembelih, melainkan ketulusan pengorbanan yang dilakukan.
5. Ketika Kurban Justru Menampakkan Ketimpangan: Di Mana Letak Keadilan Sosialnya?
"Tidak beriman salah satu dari kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri." (HR. Bukhari dan Muslim)
Iduladha seharusnya menjadi momentum untuk merayakan kesetaraan, menyatukan hati dalam kepedulian sosial. Namun kini, suasana itu mulai tercemar oleh pembeda status. Mereka yang berkurban sapi super menjadi pusat perhatian, sementara yang berkurban kambing kadang tidak dilirik, apalagi disanjung.
Ketimpangan ini merusak semangat kolektif. Hari raya kurban seolah menjadi cermin kelas sosial: siapa yang mampu, siapa yang biasa saja, dan siapa yang bahkan tidak dianggap. Halus tapi nyata, standar sosial ini memisahkan, bukan menyatukan.
Padahal, nilai kurban tidak terletak pada besarnya hewan, tapi pada besarnya cinta kasih yang dibagikan. Jika kurban justru memperlebar jarak sosial, maka kita patut bertanya: benarkah kita masih menjalankan esensi ajaran Nabi Ibrahim?
6. Kurban dan Ketimpangan Sosial: Siapa yang Sebenarnya Pantas Menerima?
“Jangan sampai tangan kanan memberi, tapi tangan kiri sibuk menghitung-hitung balasannya.”