Semakin Besar Sapi, Semakin Saleh?
Saatnya Kembali ke Makna Kurban"Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tapi hati dan amal kalian." — HR. Muslim
Oleh Karnita
Pendahuluan: Iduladha dan Aroma yang Selalu Menghangatkan Hati
Setiap kali Iduladha tiba, suasana selalu punya nuansa yang tak tergantikan. Ada bau khas rumput basah, tanah yang lembap, dan suara takbir yang menggema dari mushola kecil di ujung jalan. Suasana itu selalu membuat hati tergetar, mengingatkan kita pada masa kecil yang polos dan momen kurban yang penuh haru. Seharusnya, inilah waktu di mana kita kembali menyapa Tuhan dengan penuh keikhlasan—tanpa keramaian, tanpa sorotan.
Tapi belakangan ini, makna itu seperti mulai memudar. Ketika saya membaca tulisan Pak Sultani di Kompasiana, saya merasa tersentil sekaligus tercerahkan. Beliau menyoroti bagaimana kurban perlahan-lahan berubah wajah. Dari ibadah yang seharusnya jadi ruang sunyi antara hamba dan Tuhannya, kini sering kali jadi bahan konten. Sapi jumbo, dokumentasi lengkap, hingga selebrasi sosial media.
Saya sepakat, tapi saya juga ingin menekankan: ini bukan semata kesalahan individu. Kita hidup di tengah budaya yang suka membandingkan, algoritma yang mendorong kita untuk tampil, dan lingkungan yang sering kali menilai dari tampilan luar. Di sinilah kita perlu bertanya: masihkah kita berkurban karena Allah, atau karena ingin terlihat berkurban?
1. Ketika Kurban Tak Lagi Sekadar Ibadah, Tapi Juga Ajang Tampil dan Pamer Status
"Bukan darah dan daging kurban itu yang sampai kepada Allah, melainkan ketakwaan kamu." (QS. Al-Hajj: 37)
Di balik semarak perayaan Iduladha, terselip kegelisahan sosial yang kian nyata: kurban tak lagi murni sebagai bentuk ketakwaan, tapi menjelma menjadi simbol kelas dan pencitraan. Di tengah masyarakat urban, sering kali kita mendengar pertanyaan seperti: "Sapi jenis apa yang dikurbanin?", "Berapa bobotnya?", "Dari vendor mana belinya?"—semuanya mengarah pada pengakuan sosial, bukan lagi niat spiritual.
Di era konten dan validasi digital, ibadah kurban perlahan digeser oleh narasi visual: dokumentasi pemotongan hewan, video prosesi, hingga ucapan digital dengan latar sapi limousin. Semua itu berujung pada satu hal: kurban menjadi panggung untuk menunjukkan siapa yang “lebih mampu”.
Padahal, semestinya kurban adalah tentang pengorbanan batin, bukan performa sosial. Kita seolah lupa bahwa yang dinilai adalah ketulusan hati, bukan ukuran hewan atau kualitas dokumentasi.