Kementerian Kebudayaan seharusnya membuka kanal partisipatif—melalui konsultasi publik, forum daring, atau bahkan sayembara penulisan sejarah daerah. Sejarah Indonesia adalah sejarah bersama. Maka, prosesnya pun harus bersifat kolektif.
4. Tafsir Tunggal vs Pluralitas Sejarah: Perluas Jangkauan, Jangan Batasi Narasi
"Jika kau ingin menghancurkan suatu bangsa, hancurkan pemahaman mereka tentang sejarah." – Milan Kundera
Penulisan ulang yang memusatkan narasi pada “Indonesia sentris” tentu penting untuk melawan dominasi kolonialisme dalam historiografi. Namun Indonesia sentris tidak boleh berarti Jakarta sentris atau kekuasaan sentris. Justru, pendekatan Indonesia sentris harus menjangkau Papua, Nusa Tenggara, Kalimantan, hingga minoritas yang kerap diabaikan.
Pluralitas sejarah tidak berarti relativisme ekstrem, tapi pengakuan bahwa satu peristiwa bisa memiliki banyak sisi dan makna. Misalnya, 1965 bukan hanya tentang kudeta, tetapi juga tentang tragedi kemanusiaan. Reformasi 1998 bukan hanya tentang kejatuhan Soeharto, tetapi juga kebangkitan suara mahasiswa dan rakyat kecil.
Pemerintah perlu menyusun panduan historiografi yang memuat prinsip inklusivitas, verifikasi silang, serta etika penulisan sejarah agar tidak menjadi propaganda. Sejarah bukan alat politik sesaat, tetapi refleksi masa lalu untuk membangun masa depan yang lebih jujur.
5. Transparansi dan Akuntabilitas: Sejarah Adalah Amanah Publik
"Kebenaran sejarah akan lahir dari keterbukaan, bukan dari penutupan" – Pramoedya Ananta Toer
Ketua DPR Puan Maharani telah menegaskan agar penulisan ulang ini tidak mengaburkan fakta. Pernyataan ini penting, mengingat sejarah tidak boleh disulap untuk menyenangkan penguasa. Terlebih, proyek ini didanai negara dan dilakukan menjelang peringatan 80 tahun kemerdekaan, momentum yang sangat simbolis secara politik.
Dalam praktiknya, proyek ini harus disertai mekanisme audit publik, termasuk pelibatan MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia), pengarsipan terbuka, serta laporan berkala yang bisa diakses masyarakat. Jika tidak, proyek ini hanya akan menambah daftar panjang narasi sejarah yang dipertanyakan kebenarannya oleh generasi mendatang.
6. Alternatif Solusi: Penulisan Sejarah Sebagai Ekosistem, Bukan Monopoli