Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Polemik Penulisan Sejarah Ulang, Apa yang Harus Dilakukan?

26 Mei 2025   17:00 Diperbarui: 26 Mei 2025   17:00 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Sejarah bukanlah sesuatu yang telah berlalu, melainkan sesuatu yang masih ada." (Dok. Kompas.com)

"Sejarah bukanlah sesuatu yang telah berlalu, melainkan sesuatu yang masih ada." ,  Apa yang Harus Dilakukan?

"Jangan sekali-kali melupakan sejarah" – Soekarno

Oleh Karnita

Pendahuluan: Ketika Masa Lalu Kembali Disorot

Sejarah bukan sekadar cerita masa silam, tetapi juga fondasi identitas bangsa. Maka, ketika pemerintah melalui Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyampaikan rencana penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia (SNI), publik pun riuh. Di satu sisi, urgensinya tak terbantahkan—versi terakhir yang termuat dalam SNI Jilid 6 bahkan belum menyentuh era reformasi secara memadai. Di sisi lain, bayang-bayang kepentingan politik dan tafsir tunggal membuat publik waswas.

Muncul pula kekhawatiran akan narasi yang dikendalikan, terlebih ketika Fadli menyebut penulisan ini akan menghadirkan perspektif "Indonesia sentris". Tujuan ini baik, namun rentan ditarik menjadi alat legitimasi negara untuk menyaring narasi yang tak sesuai kehendak penguasa. Kekhawatiran itu kian menguat ketika istilah “sejarah resmi” mulai muncul, disusul reaksi kritis dari kalangan sejarawan, anggota dewan, hingga koalisi masyarakat sipil.

Dalam konteks inilah, penting bagi kita untuk mengupas polemik penulisan ulang sejarah nasional ini secara jernih: mengapa hal ini penting, apa yang dipermasalahkan, dan bagaimana seharusnya langkah ideal dilakukan?

1. Urgensi Pembaruan Sejarah: Dari Kekosongan Data ke Ketertinggalan Narasi

"Sejarah bukanlah sesuatu yang telah berlalu, melainkan sesuatu yang masih ada." – William Faulkner

Fadli Zon menyebut bahwa buku SNI terakhir hanya memuat sejarah hingga era BJ Habibie, bahkan pemilu 1999 pun absen. Ini adalah kenyataan yang tak bisa dibantah. Generasi muda Indonesia kini tumbuh tanpa referensi sejarah resmi tentang Gus Dur, Megawati, SBY, hingga Jokowi dalam satu narasi historis utuh. Padahal, periode ini mencakup reformasi politik, pergeseran ideologi, hingga dinamika HAM yang signifikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun