Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Razia Berlalu, Preman Tetap Ada: Apa yang Salah?

18 Mei 2025   16:32 Diperbarui: 18 Mei 2025   16:32 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langkah korektif yang dibutuhkan adalah reformasi menyeluruh dalam sistem penegakan hukum. Penguatan pengawasan internal, penerapan sistem pelaporan digital yang mudah diakses publik, dan perlindungan terhadap aparat berintegritas adalah kunci. Jangan biarkan hukum hanya menjadi instrumen simbolik; ia harus menjadi pelindung semua warga, tanpa pandang bulu.

3. Rasa Aman yang Belum Merata

Dalam banyak kasus, masyarakat memilih diam bukan karena tidak peduli, tetapi karena merasa tak aman. Ketakutan terhadap potensi pembalasan sering kali membuat warga enggan melapor atau bersikap kritis. Apalagi jika respons aparat dinilai lambat atau tidak berpihak. Ini menciptakan ruang bagi kekuasaan informal untuk tumbuh dan membentuk ekosistem ketakutan yang terus berulang.

Membangun rasa aman publik harus dimulai dengan menghadirkan perlindungan nyata terhadap pelapor dan korban. Mekanisme pelaporan harus inklusif, aman, dan mudah diakses---baik melalui kanal digital maupun komunitas berbasis warga. Pengawasan eksternal yang melibatkan masyarakat sipil akan membantu membangun kepercayaan publik terhadap institusi hukum.

4. Ambiguitas Peran Organisasi Massa

Sebagian organisasi massa memiliki kontribusi positif dalam menjaga harmoni sosial. Namun, tidak bisa dipungkiri ada segelintir yang perannya kerap tumpang tindih dengan praktik koersif. Ketika atribut organisasi dijadikan tameng untuk aktivitas pemungutan liar, intervensi lahan, atau tekanan terhadap pelaku usaha, maka masyarakat menjadi ragu membedakan antara ketertiban dan intimidasi.

Diperlukan penegakan hukum yang netral dan terukur terhadap semua kelompok tanpa kecuali. Audit menyeluruh terhadap organisasi penerima fasilitas negara patut dilakukan secara berkala. Izin operasional harus dikaji ulang jika terbukti ada penyalahgunaan wewenang. Negara tidak boleh terjebak pada pragmatisme politik yang mengabaikan prinsip keadilan. Ruang publik harus dijaga oleh semangat partisipatif, bukan oleh dominasi kekuatan informal.

Penutup
Premanisme bukan sekadar soal kekerasan jalanan, tapi cermin dari sistem yang pincang: ketika keadilan terasa jauh, ketika ekonomi tak merangkul semua, dan ketika hukum hanya tajam ke bawah. Kita tak bisa terus berharap hasil berbeda dari cara lama: razia sporadis, penangkapan temporer, atau wacana keras yang tak menyentuh akar. Sudah saatnya kita menata ulang pendekatan---dari hulu hingga hilir, dari empati hingga keberanian menindak.

Apakah mungkin negeri ini bebas dari premanisme? Mungkin, jika kita berhenti menormalisasi ketakutan dan mulai membangun sistem yang memberdayakan warga. Saatnya kita memilih: terus hidup berdampingan dengan ancaman yang dibungkam, atau bersama menyalakan cahaya keberanian yang membasmi gelap secara sistemik dan beradab. Jadi, kapan terakhir kali kita benar-benar serius ingin hidup aman di tanah sendiri? Wallahu a'lam. 

Daftar Pustaka

Kompas.com. (2025, 13 Mei). "Polisi Tangkap 1.197 Preman dalam Operasi Berantas Jaya 2025". Diakses dari https://www.kompas.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun