Bertanggung jawab artinya tidak hanya meminta anak berubah, tetapi juga memaksa sistem pendidikan dan keluarga ikut berubah. Kita semua punya andil atas apa yang mereka tiru.
6. Sekolah Ramah Anak: Impian atau Prioritas?
“Harus diciptakan sekolah-sekolah yang ramah anak.” – Kak Seto
Frasa “sekolah ramah anak” kerap dilontarkan dalam seminar atau pernyataan pers. Tapi sudahkah benar-benar menjadi prioritas? Sekolah yang ramah anak bukan hanya menyediakan taman bermain, melainkan suasana belajar yang membuat anak merasa aman, didengar, dan dihargai.
Kak Seto menegaskan bahwa sekolah ramah anak harus jadi gerakan sistemik, bukan jargon sesaat. Ia mencakup pelatihan guru tentang psikologi anak, mekanisme konseling aktif, hingga keterlibatan orang tua dalam mendidik karakter.
Tanpa lingkungan yang mendukung pertumbuhan emosi dan sosial anak, pendidikan hanya menjadi rutinitas, bukan pembentuk masa depan.
7. "Lingkungan Kita, Cermin Mereka"
"Anak-anak bukan hanya produk rumah dan sekolah, tetapi juga cermin dari lingkungan tempat mereka tumbuh."
Kekerasan yang ditiru anak SD di Cilangkap sesungguhnya bukan muncul dari ruang hampa. Mereka hidup dalam masyarakat yang saban hari dijejali berita konflik, konten digital yang banal, hingga interaksi sosial yang kian dingin dan transaksional. Ketika orang dewasa menyelesaikan masalah dengan bentakan, hinaan, atau adu jotos, maka tak heran jika anak ikut menganggap kekerasan sebagai bentuk ekspresi yang sah.
Masyarakat punya tanggung jawab moral membentuk iklim sosial yang sehat bagi anak-anak. Mulai dari sikap saling menyapa, menjaga keamanan lingkungan, hingga aktif membangun ruang-ruang aman di luar sekolah—seperti taman baca, forum warga, atau komunitas kreatif. Anak belajar dari apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan. Maka, sudah semestinya masyarakat menjadi ekosistem pendukung tumbuh kembang, bukan justru ladang tiruan kekerasan yang mereka serap tanpa sadar.
Penutup: Siapa yang Mau Menjadi Contoh?