Namun, kelemahannya mungkin terletak pada plot yang cenderung linear dan kadang repetitif. Beberapa bagian terasa lambat, meski itu sejalan dengan ritme kesabaran Sabari. Bagi pembaca yang menginginkan konflik yang kompleks dan klimaks yang dramatis, Ayah mungkin terasa datar.
Meskipun begitu, kejujuran dan kehangatan narasinya lebih dari cukup untuk menjadikannya bacaan yang bermakna.
Penutup
“Mungkin Sabari telah tiada, tapi cara ia mencinta akan terus hidup—di setiap ayah yang bertahan, di setiap hati yang tak lelah berharap.”
Sabari bukanlah tokoh besar dalam sejarah, bukan pula pahlawan dalam pertempuran. Tapi dari rumah kecilnya, dari air matanya yang jatuh diam-diam, kita belajar tentang makna cinta, kesetiaan, dan keberanian. Novel Ayah mengingatkan kita bahwa kadang, menjadi manusia seutuhnya berarti mencintai tanpa mengharap kembali.
Jadi, masihkah kita memandang rendah laki-laki yang menangis? Atau justru kita harus belajar dari Sabari: bahwa mencintai adalah bentuk paling luhur dari keberanian?
Daftar Pustaka
Hirata, Andrea. (2015). Ayah. Bentang Pustaka.
Nurgiyantoro, Burhan. (2009). Teori Pengkajian Fiksi. Gadjah Mada University Press.
https://kumparan.com/teguh-iman-perdana-1587963001734305834/resensi-novel-ayah-karya-andrea-hirata
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI