Sabari mungkin tak bisa memberi Zorro ibu, tapi ia memberi yang lebih esensial: cinta dan pendidikan. Dengan buku-buku tua dan cerita-cerita sederhana, ia membentuk Zorro menjadi anak yang penuh empati. Pendidikan dalam novel ini bukan soal ijazah, tapi soal perhatian dan kehadiran.
Andrea Hirata kembali menekankan peran pendidikan informal sebagai fondasi karakter. Zorro tidak besar dalam kemewahan, tapi besar dalam cinta dan pengetahuan.
Hal ini sekaligus mengkritik sistem yang kerap mengabaikan peran ayah dalam pengasuhan. Novel ini membuktikan: ayah juga bisa menjadi pengasuh utama yang hangat.
5. Urgensi dan Relevansi Isi Novel dengan Realitas Kehidupan
“Dalam cinta, kita belajar bertahan, meski sendirian.”
Ayah bukan sekadar kisah cinta yang tragis. Ia relevan dengan realitas kehidupan banyak keluarga hari ini: ayah tunggal yang berjuang, laki-laki yang ditertawakan karena lembut, anak-anak yang dibesarkan dengan cara tidak lazim. Semua ini bukan fiksi semata, tapi potret sosial yang nyata.
Di tengah masyarakat yang masih patriarkal dan sinis terhadap ekspresi emosi laki-laki, Sabari menjadi semacam pelawan diam. Ia tak memaki, tak mengutuk, hanya terus berjalan dan mencinta.
Novel ini layak dibaca oleh siapa pun yang ingin memahami cinta dalam bentuknya yang paling murni, sekaligus merefleksikan kembali relasi keluarga yang seringkali kita anggap remeh.
6. Keunggulan dan Kelemahan Novel
“Kesederhanaan adalah kekuatan, tapi juga keterbatasan.”
Keunggulan utama novel Ayah adalah kedalaman emosinya. Andrea Hirata berhasil menciptakan karakter yang hidup, dialog yang mengalir, dan narasi yang menyentuh. Gaya bahasanya tetap khas: puitis, kadang jenaka, tapi tetap membumi.