“Di negeri ini, ayah lembut dianggap lemah. Padahal dialah yang paling kuat.”
Sabari bukanlah sosok ayah yang maskulin dalam pengertian umum. Ia lembut, penyabar, menangis tanpa malu, dan tak segan mengekspresikan rasa cinta kepada anaknya. Tapi masyarakat sekelilingnya justru menganggap itu kelemahan. Sabari diejek, dianggap tak jantan, bahkan dianggap kurang waras.
Andrea Hirata dengan cerdas menyingkap bagaimana masyarakat masih menaruh standar maskulinitas yang sempit. Lelaki harus tegas, kuat, dan kaku. Maka Sabari menjadi semacam oposisi terhadap stereotip itu.
Namun justru dalam kelembutan itulah letak kekuatan Sabari. Ia tak mudah menyerah, tak mudah membenci, dan terus berdiri meski sendirian. Sosok ayah dalam novel ini menjadi kritik sosial atas definisi “laki-laki sejati” yang terlalu sempit.
3. Marlena dan Ketimpangan Pilihan Perempuan
“Marlena bukan antagonis. Ia adalah potret perempuan yang kehilangan kendali atas hidupnya.”
Di tangan penulis lain, Marlena mungkin sudah dijadikan tokoh antagonis klasik. Tapi Andrea Hirata memberi ruang bagi pembaca untuk memahami Marlena dari sudut yang lebih kompleks. Ia bukan sekadar perempuan yang meninggalkan anak. Ia adalah perempuan muda yang terseret situasi, dilema, dan tuntutan zaman.
Pilihan-pilihan Marlena, meskipun menyakitkan bagi Sabari dan Zorro, adalah cermin dari bagaimana perempuan seringkali tak punya ruang cukup untuk berpikir jernih. Ia korban dari kemiskinan, sistem patriarki, dan ekspektasi sosial.
Dalam konteks ini, novel Ayah mengangkat isu penting: bahwa di balik setiap keputusan ekstrem, ada tekanan sosial yang jarang kita lihat. Marlena bukan jahat, hanya salah arah.
4. Ketika Pendidikan Menjadi Pengganti Kehangatan Ibu
“Zorro dibesarkan dengan buku, cinta, dan keheningan.”