Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Angin Tuntutan Berembus dari Forum Purnawirawan

28 April 2025   09:16 Diperbarui: 28 April 2025   09:16 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika Angin Tuntutan Berembus dari Forum Purnawirawan

"Penting bagi kita untuk selalu menjaga dialog yang baik, demi kemajuan bersama." — Ki Hajar Dewantara

Oleh Karnita

Pendahuluan

Ada saat-saat ketika angin perubahan bertiup dari tempat yang tak terduga — dari bilik-bilik pengalaman panjang, dari suara-suara tua yang dulu pernah menggenggam kekuasaan. Pada 27 April 2025, Kompas.com merilis laporan berjudul "Ini Respons Prabowo dan MPR soal Tuntutan Mencopot Gibran" yang mengangkat realitas ini ke permukaan. Sebuah forum yang beranggotakan ratusan purnawirawan TNI-Polri — di antaranya Jenderal (Purn) Fachrul Razi dan Jenderal (Purn) Try Sutrisno — melayangkan delapan tuntutan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, salah satunya: meminta pencopotan Gibran Rakabuming Raka dari jabatan Wakil Presiden.

Respon dari Presiden Prabowo Subianto, yang disampaikan melalui Penasihat Khusus Bidang Politik dan Keamanan, Wiranto, menunjukkan kehati-hatian yang kentara. Prabowo memilih untuk menghormati aspirasi itu namun tetap menggarisbawahi batas-batas kewenangan eksekutif dalam bingkai trias politika. Sementara itu, Ketua MPR Ahmad Muzani berdiri tegas, mengingatkan bahwa Gibran adalah Wapres sah hasil Pilpres 2024 yang sudah dikukuhkan lewat proses demokrasi, verifikasi KPU, hingga putusan Mahkamah Konstitusi. Di tengah itu, pengamat politik Agung Baskoro menilai bahwa tuntutan pencopotan ini tidak memiliki urgensi konstitusional, apalagi di tengah pemerintahan yang baru saja mulai berlayar.

Tuntutan ini, meski terasa keras di telinga, memperlihatkan dinamika hubungan antara generasi lama dan generasi yang kini tengah memimpin. Ia adalah angin yang mesti dibaca, bukan sekadar ditiupkan pergi begitu saja. Ada kegelisahan di baliknya, ada harapan di dalamnya, dan tentu, ada pesan mendalam yang pantas direnungkan sebelum bangsa ini melangkah lebih jauh ke medan tantangan yang semakin kompleks.

Suara yang Tak Bisu di Senja Hari

Ada yang istimewa ketika para purnawirawan bersuara lantang. Mereka bukan sekadar sosok-sosok masa lalu; mereka adalah saksi sejarah, pengukir tapak awal republik ini bertumbuh. Ketika suara mereka menggema dalam forum terbuka, bukan hanya nostalgia yang berbisik, tetapi juga kegelisahan tentang masa depan bangsa.

Forum Purnawirawan, yang melibatkan nama-nama besar seperti Try Sutrisno dan Fachrul Razi, seolah mengingatkan kita bahwa usia tidak pernah membungkam rasa tanggung jawab pada negeri. Ada daya hidup dalam setiap pernyataan mereka — semangat untuk tetap menjaga republik agar tidak terjebak dalam kesalahan yang sama. Tuntutan mereka, meski keras, lahir dari tempat yang penuh kepedulian.

Fenomena purnawirawan berbicara lantang ini menunjukkan adanya pergeseran penting: partisipasi politik pasif berubah menjadi intervensi aktif terhadap dinamika bangsa. Ini memperkaya demokrasi, asalkan tetap dalam koridor etik.

Dibutuhkan platform-dialog lintas generasi yang sistematis, misalnya “Forum Penjaga Nurani Bangsa” — wadah resmi yang menghubungkan pengalaman purnawirawan dengan semangat reformasi generasi muda. Dengan begitu, suara mereka menjadi jembatan, bukan jurang.

Delapan Tuntutan: Sebuah Cermin Kekhawatiran

Forum Purnawirawan menyampaikan  delapan tuntutan Dok. Tribun News)
Forum Purnawirawan menyampaikan  delapan tuntutan Dok. Tribun News)

Bukan tanpa sebab Forum Purnawirawan merumuskan delapan tuntutan. Di dalamnya tercermin rasa was-was terhadap arah baru republik ini. Salah satu tuntutan yang paling disorot adalah permintaan agar Gibran Rakabuming Raka dicopot dari jabatan Wakil Presiden — sesuatu yang dalam sejarah pasca-reformasi hampir tak pernah terjadi.

Tuntutan tersebut membawa beban moral yang berat: bukan hanya tentang seorang individu, tetapi tentang marwah institusi demokrasi itu sendiri. Ada pertanyaan mendalam yang ikut bergulir: apakah kita benar-benar menjaga etika politik, atau sekadar membungkus kompromi dalam jargon legalitas?

Dalam forum itu terdengar satu kutipan yang menggetarkan: "Negara ini lebih besar dari siapa pun yang sedang berkuasa." Kutipan ini menyalakan kembali obor kesadaran bahwa loyalitas sejati kepada republik berarti berani mengingatkan — bahkan kepada yang berkuasa.

Diperlukan model pendekatan baru: mengkaji tuntutan itu melalui audit etika nasional — melibatkan ahli hukum tata negara, filsuf politik, dan masyarakat madani — untuk menimbang apakah langkah koreksi terhadap penyimpangan demokrasi masih dalam koridor konstitusional.

Antara Prosedur Hukum dan Suara Nurani

Respons Ketua MPR RI tentang tuntutan pencopotan Wapres (Tribun Network) 
Respons Ketua MPR RI tentang tuntutan pencopotan Wapres (Tribun Network) 

Respons yang diberikan Presiden Prabowo dan Ketua MPR Ahmad Muzani tampak menunjukkan kedewasaan dalam bernegara. Mereka menegaskan bahwa perubahan jabatan, apalagi pada tingkat Wakil Presiden, tidak bisa semata-mata ditentukan oleh tekanan politik — ada prosedur hukum yang harus dihormati. mengabaikan keresahan rakyat. Legalisme kosong tanpa sensitivitas sosial bisa menjadi benih ketidakpuasan yang membusuk.

Namun, suara purnawirawan ini tetap tidak bisa dipandang sebelah mata. Ia mencerminkan irisan antara dunia prosedural dengan dunia nurani. Tuntutan yang lahir dari kekhawatiran moral tetap memiliki tempat dalam diskusi publik, bahkan bila jalur konstitusionalnya tampak buntu.

Pemerintah perlu membangun mekanisme moral hearing di luar jalur formal: forum konsultatif nasional yang rutin mendengarkan kritik moral publik, sebagai pelengkap supremasi hukum, bukan pengganti.

Gibran di Tengah Badai: Diam atau Menjawab?

Gibran Rakabuming Raka, sosok muda yang kini berada di sorotan, memilih sikap diam atas tuntutan ini. Sikapnya mengundang berbagai tafsir: apakah ini bentuk ketenangan yang bijak, atau justru ketidakpekaan terhadap arus bawah yang tengah bergolak?

Kutipan yang muncul dalam perbincangan publik terasa menohok: "Pemimpin yang tak menjawab rakyatnya, lambat-laun hanya akan berbicara pada bayangannya sendiri." Ini menjadi tantangan besar bagi Gibran: apakah ia siap memikul beban sejarah yang kini ada di pundaknya?

Dalam dunia politik yang kian cair, diam bisa jadi emas, tapi juga bisa menjadi jebakan. Ada kalanya rakyat membutuhkan pemimpin muda yang berani bersuara — bukan untuk membela diri, melainkan untuk menjelaskan, menegaskan arah, dan menumbuhkan kembali kepercayaan. Dalam politik, diam itu berlapis makna: bisa menenangkan, bisa juga memperparah ketidakpercayaan publik. Momentum ini seharusnya digunakan Gibran untuk memperjelas posisi etisnya di hadapan rakyat.

Gibran sebaiknya melakukan public statement terbuka — bukan sekadar pembelaan diri, tapi refleksi tentang makna etik jabatan, komitmennya terhadap reformasi, dan strategi membangun demokrasi partisipatif yang kuat.

Membaca Angin, Menyusun Jalan Baru

Tuntutan forum purnawirawan ini, apapun bentuk akhirnya, adalah cermin yang tak boleh diabaikan. Di dalamnya ada kecemasan, ada pengalaman panjang, ada harapan bahwa bangsa ini tetap berjalan di jalur etika dan kebangsaan sejati.

Pemerintah baru, termasuk pasangan Prabowo-Gibran, harus cermat membaca angin ini. Bukan untuk tunduk pada tekanan politik semata, tetapi untuk mendengar getar-getar kegelisahan yang mungkin mencerminkan suara diam sebagian rakyat.

Dalam salah satu sesi penutupan forum, terdengar kalimat reflektif: "Seorang pelaut ulung tidak memusuhi angin, ia belajar menaklukkannya." Kalimat ini seolah menjadi pelajaran kecil: di era transisi ini, kecakapan membaca anginlah yang akan menentukan apakah kapal besar bernama Indonesia berlayar mulus, atau malah terombang-ambing dalam badai baru.

Menjawab Badai dengan Ruang Rekonsiliasi Nasional

Daripada membiarkan tuntutan dan kegelisahan ini mengeras menjadi sekat politik baru, seharusnya Prabowo-Gibran menginisiasi Ruang Rekonsiliasi Nasional yang inklusif. Bukan hanya simbolik, melainkan forum substantif di mana purnawirawan, akademisi, aktivis muda, dan tokoh masyarakat bisa duduk bersama: menegur, mengkritik, sekaligus membangun arah negara ke depan. Sebuah ruang aman untuk mengartikulasikan keresahan dan menggali solusi bersama.

Gagasan ini penting untuk mencegah perasaan "ditinggalkan" yang kerap muncul di masa-masa transisi kekuasaan. Jika suara kritis dianggap musuh, demokrasi hanya tinggal slogan. Namun jika suara itu dijadikan bahan bakar evaluasi, maka republik akan menemukan jalur regenerasi yang sehat. Indonesia butuh ruang-ruang pertemuan yang lebih jujur, bukan sekadar basa-basi politik lima tahunan.

Seorang filsuf pernah berkata, "Bangsa yang besar adalah bangsa yang bersedia bercermin di tengah badai, bukan hanya saat laut tenang." Maka ruang rekonsiliasi bukan sekadar program, melainkan jiwa baru: keberanian untuk mendengar, untuk berubah, dan untuk mengukuhkan kembali cinta pada tanah air — dalam keberagaman suara dan pikiran.

Penutup 

"Persatuan bukan berarti keseragaman, melainkan kesediaan mendengarkan satu sama lain." — Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Dalam gelombang perubahan, kritik sejatinya bukanlah badai penghancur, melainkan kompas penunjuk arah. Tuntutan dari Forum Purnawirawan menunjukkan bahwa demokrasi kita masih bernapas, masih punya ruang untuk suara yang kadang sumbang, namun sesungguhnya vital. Prabowo-Gibran, bila bijak membaca tanda zaman, punya peluang besar bukan sekadar meredam, tapi menyulam kembali persatuan bangsa lewat telinga yang mendengar dan hati yang terbuka.

Di tengah langit yang kadang kelabu, masa depan Indonesia tidak boleh dikunci oleh rasa curiga atau dendam. Ruang rekonsiliasi adalah panggilan sejarah yang harus dijawab dengan gagasan besar dan jiwa besar. Sebab bangsa ini lahir dari keberanian berdialog dalam perbedaan, bukan dari keseragaman yang dipaksakan. Kini, kita dihadapkan pada pilihan: menguatkan persatuan, atau membiarkan luka lama menganga kembali. Wallahu a’lam.

Sumber berita:

https://www.tribunnews.com/nasional/2025/04/26/menakar-tuntutan-purnawirawan-tni-terhadap-gibran-lebih-bernuansa-politis-daripada-yuridis

https://nasional.kompas.com/read/2025/04/25/17142131/ada-usulan-wapres-dicopot-ketua-mpr-gibran-wakil-presiden-yang-sah

https://nasional.kompas.com/read/2025/04/25/17142131/ada-usulan-wapres-dicopot-ketua-mpr-gibran-wakil-presiden-yang-sah

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun