"Nek, kebakaran! Kita harus keluar sekarang!" teriaknya sambil memanggul seorang nenek yang tak mampu berjalan. Napasnya terengah, tapi langkahnya tak berhenti. Api makin dekat, dan waktu makin sempit.
"Aku lihat dia lari seperti tak punya rasa takut. Padahal api sudah menjilat jalan utama," kata Kim Pil-Kyung (56), kepala desa yang juga turut membantu evakuasi. "Kalau bukan karena dia, kami mungkin tidak bicara hari ini."
Tak Sekadar Nelayan: Cinta Sugianto pada Korea yang Dalam dan Nyata
Delapan tahun bekerja sebagai nelayan membuat Sugianto akrab dengan laut Korea, tapi yang lebih dalam dari laut adalah cintanya pada orang-orang yang menyambutnya seperti keluarga. "Saya mencintai Korea. Warga desa ini sudah seperti nenek saya sendiri," katanya dengan suara tercekat.
Sugianto bahkan fasih menggunakan dialek Gyeongsang, memanggil para lansia dengan nada penuh kasih. "Saat saya teriak dalam dialek mereka, mereka bangun. Mungkin karena merasa itu suara cucunya," ujarnya sambil tersenyum tipis. Ia telah menjadi bagian dari komunitas itu---tak sekadar sebagai buruh, tapi sebagai anak, cucu, saudara.
Yoo Myeong-shin, kepala komunitas nelayan, berkata, "Dia bukan orang asing. Sugianto adalah bagian dari kami. Dia anak desa ini."
Pulang yang Tertunda, Keluarga yang Selalu Menunggu
Di balik sosok pahlawan ini, ada seorang istri dan anak lima tahun yang menanti di Indonesia. Ia menahan rindu bertahun-tahun demi mencari nafkah, mengumpulkan sedikit demi sedikit demi masa depan. "Istri saya menangis di telepon. Dia bilang, 'Kamu bawa harum nama Indonesia. Kami bangga.' Saya juga menangis," kenangnya.
Di antara malam-malam dingin Yeongdeok, Sugianto selalu membayangkan wajah anaknya. Tapi ketika bencana datang, ia memilih menunda rindunya demi menyelamatkan mereka yang tak bisa lari. "Anakku menunggu, tapi kalau nenek-nenek itu tak selamat, siapa yang akan menunggu mereka?"
Antara Devisa dan Nyawa: Potret Tenaga Kerja yang Lahirkan Harapan