Kita sering menyebut mereka "pahlawan devisa," namun jarang menyaksikan betapa nyatanya makna itu. Sugianto bukan hanya mengirim uang, tapi juga menyelamatkan nyawa. Ia menjadi contoh bahwa kemanusiaan bisa melintasi batas visa, pekerjaan, bahkan bahasa.
Pemerintah Korea Selatan kini memberinya Visa F-2, sebuah bentuk penghargaan atas jasa dan integritasnya. Namun, yang paling berharga bukan visa itu, melainkan kepercayaan dan rasa hormat warga yang pernah nyaris kehilangan segalanya.
"Dia tidak hanya menyelamatkan kami. Dia memberi kami keyakinan bahwa masih ada kebaikan di dunia ini," kata Kim Pil-Kyung pelan, matanya berkaca-kaca.
Doa dari Laut: Leo dan Persahabatan dalam Bahaya
Di balik aksi Sugianto, ada sosok Leo, rekan senegara yang turut menembus api. Ia tak banyak bicara, tapi tubuhnya bercerita. Bahu yang lelah, lengan yang memar, semua itu tak menghalangi niatnya membantu.
"Saya cuma bantu Mas Sugi. Kalau dia bisa lari dua kali, saya harus lari tiga kali," ujar Leo singkat, menunduk. Tak ada kompetisi di antara mereka, hanya kebersamaan yang tak bisa dibeli.
Dari Indonesia ke Korea, dari laut ke bukit, dari teman jadi saudara. Itulah Leo dan Sugianto: dua anak bangsa yang membuktikan bahwa solidaritas tak butuh pangkat atau gaji besar---cukup hati yang besar.
Warga yang Menyebutnya Anak Sendiri
Pasca kebakaran, para lansia yang selamat tidak pernah lupa dengan "Ja-ga"---sebutan penuh hormat untuk Sugianto. Mereka menyebutnya "anak kami", bukan lagi "pekerja asing". Beberapa warga bahkan mengusulkan agar ia diberi status tinggal permanen.
"Kalau dia mau, kami akan kumpulkan tanda tangan. Dia harus bisa tinggal di sini. Kami ingin dia bersama kami," ujar seorang nenek 90 tahun, yang sempat digendong Sugianto saat nyawanya nyaris sirna.
Salah satu warga lain berkata lirih, "Dia bukan hanya menolong kami, dia membuat kami merasa dicintai."